Sabtu, 05 April 2008

Perubahan Nilai Gizi Daging selama Maturasi ("Aging") pada Sapi Bali Penggemukan dan Tanpa Penggemukan

oleh

Effendi Abustam
Pusat Studi Teknologi dan Pengembangan Peternakan
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana peranan "aging" terhadap nilai gizi daging sapi Bali yang telah mengalami penggemukan dan yang masih dipelihara secara tradision­al.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Unhas dan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Ujung Pandang. Materi yang digunakan sebanyak 14 ekor sapi Bali jantan umur dua tahun dan berasal dari Kabupaten Bone yang terdiri atas 7 ekor sapi penggemukan dan 7 ekor tanpa penggemu­kan. Tiga jenis otot : Longissimus dorsi (LD), Semitendinosus (ST) dan Pectoralis profundus (PP) telah diseksi pada karkas sebelah kanan setelah proses rigor mortis berakhir. Ketiga jenis otot tersebut kemudian disimpan pada suhu + 2oC selama 12 hari dengan selang waktu setiap 3 hari dilakukan analisa proksimasi protein dan lemak.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam 3 faktor dengan rancangan dasar acak lengkap : faktor 1 sistem pemeliharaan, faktor 2 jenis otot dan faktor 3 lama "aging" (2 x 3 x 5).

Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa aging ber­peranan dalam perbaikan nilai gizi daging sapi Bali yakni terjadi peningkatan kadar protein setelah "aging" enam hari dan kadar lemak berfluktuasi selama proses "aging".

Sistem pemeliharaan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) style=""> oleh jenis otot.

Melihat tingkat perubahan nilai gizi maka penerapan aging pada daging sapi Bali sebaiknya dilakukan sampai pada hari keenam dan atau minimal tiga hari.

ABSTRACT

The objective of the study was to find out the role of aging on meat quality especially nutrient value from Bali cattle reared by a traditional system and feedlot fattening system.

This experiment was conducted at Laboratory of Animal Pro­duct Technology, Faculty of Animal Husbandry Hasanuddin Universi­ty and at Slaughter House in Ujung Pandang. Materials that used are 14 heads Bali cattle with male sex from Bone regency divided into 2 groups : 7 heads from feedlot fattening and 7 heads from rural condition, that were slaughtered at 2 years old. Three type of muscle namely Longissimus dorsi (LD), Semitendinosus (ST) and Pectoralis profundus (PP) were dissected from the right of car­cass after the installation of rigor mortis. These muscles then were aged in refrigerator (+2oC) for a period of 12 days with 3 days interval for proximate analysis: protein and fat.

Data were analyzed by completely randomized design with 2 x 3 x 5 factorial pattern (rearing system, type of muscles, and period of aging).

This experiment was shown that aging play a role on meat quality from Bali cattle: the increasing of meat protein after 6 days aging and the fluctuation of fat during period of aging.

The protein content was very significantly (P<0.01) st="on">Bali cattle, it is recommended for 6 days aging or 3 days minimum.

PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya kecenderungan usaha penggemukan sapi Bali di Sulawesi Selatan dengan maksud untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang baik.
Sampai seberapa jauh kualitas daging sapi Bali yang digemuk­kan jika dibanding dengan sapi tanpa penggemukan sangat menarik untuk disimak lebih jauh. Usaha‑usaha perbaikan produksi tanpa diimbangi dengan usaha perbaikan pasca panen tidak akan besar artinya pada kualitas daging yang dihasilkan. Di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan mata rantai rigor mortis (kejang mayat) dan maturasi daging ("aging") sebelum dipasarkan tidak dipraktekan secara kenyataan, kalaupun ada paling rigor mortis.
Untuk memenuhi kebutuhan akan daging berkualitas bagi konsu­men tertentu di kota‑kota besar yang selama ini dipenuhi lewat import, maka mata rantai petik ‑ olah ‑ jual yang dapat di ja­barkan menjadi potong ‑ rigor mortis ‑ "aging" (maturasi) ‑ jual, perlu diaplikasikan.
"Aging" atau pematangan daging sudah lama dikenal dengan hasil perbaikan keempukan daging. Selama proses ini, daging disimpan pada suhu rendah (1 ‑ 5o C) untuk jangka waktu beberapa hari (Pearson, 1986). Enzim endogen dalam otot seperti CAF dan cathepsin D dan B akan berperanan dalam mendegradasi protein myofibriler (Bird dkk, 1980). Dayton dkk (1976) menyatakan bahwa enzim CAF dapat mendegradasi garis Z pada struktur myofibril daging dengan cara seperti apa yang terlihat pada daging yang telah mengalami "aging", hal mana dapat dipertimbangkan sebagai perbaikan keempukan daging.
Perbaikan keempukan yang terjadi selama proses maturasi tergantung pada suhu dan lama penyimpanan. Pada suhu + 1o C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952). Penyimpanan selama 35 hari, memper­lihatkan perbaikan keempukan sebanyak 28,2 persen dan 22 persen masing‑masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 persen dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941 dalam Dumont, 1952). Moran dan Smith (1929) dalam Dumont (1952) menyatakan bahwa peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4o C sebesar 10 persen dan meningkat menjadi 31 persen sesudah penyimpanan 17 hari. Keadaan ini menjelaskan bahwa suhu akan mempercepat fenomena keempukan, seperti yang diperlihatkan oleh Ewell (1940) dalam Dumont (1952), peningkatan keempukan akan dicapai dalam 3 hari pada suhu 15,6o C dan dalam 9 minggu pada suhu + 1,1o C.
Usaha penggemukan sapi Bali tanpa diikuti proses "aging" (maturasi) ditingkat pasca panen akan sulit untuk menghasilkan daging berkualitas, khususnya daging yang empuk. Berapa lama "aging" yang optimal yang dibutuhkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang optimum khususnya keempukan tanpa merubah nilai gizi daging tersebut menjadi suatu permasalahan yang perlu dicari pemecahannya. Demikian pula apakah pola "aging" yang diterapkan pada sapi Bali yang digemukkan akan sama pada sapi Bali tanpa penggemukan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sampai seberapa jauh peranan "aging" tersebut pada sapi Bali yang dipelihara oleh rakyat tanpa digemukkan dan sapi Bali yang telah digemukkan terhadap kualitas dagingnya khususnya nilai gizi.

MATERI DAN METODA

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peter‑ nakan Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini menggunakan 14 ekor sapi Bali jantan umur dua tahun, terbagi atas tujuh ekor tanpa penggemukan yang dipelihara oleh petani‑ternak secara tradisional dan tujuh ekor hasil peng­gemukan. Ternak tersebut berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Bone.
Sampel diperoleh dari tiga jenis otot : otot Longissimus dorsi, otot Semitendinosus dan otot Pectoralis profundus, masing‑masing secara berturut‑turut mewakili otot yang empuk, sedang keempukannya dan keras (Abustam, 1987). Ketiga jenis otot terse­but diseksi dari bagian‑bagian karkas, masing‑masing secara berurutan pada bagian cube roll, silverside dan brisket (Anony­mous, 1979) setelah rigor mortis berakhir. Lama "aging" yang diterapkan 12 hari yang dibagi atas lima perlakuan masing‑masing 0 hari, 3 hari, 6 hari, 9 hari dan 12 hari pada suhu pendinginan ( 2oC). Pada setiap perlakuan dilaksa­nakan analisis proksimasi protein dan lemak berdasarkan metoda AOAC (1984).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2 x 3 x 5 :
Faktor ke 1 : Sistem pemeliharaan sapi terdiri atas 2 level: penggemukan dan tanpa penggemukan
Faktor ke 2 : Jenis otot terdiri atas 3 level : Longissimus dorsi, Semitendinosus, dan Pectoralis profundus.
Faktor ke 3 : Lama "aging" terdiri atas 5 level : 0, 3, 6, 9, dan 12 hari.
Data diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam pola faktorial (3 faktor) berdasarkan Steel dan Torrie (1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perubahan Protein Selama Aging

Tabel 1 memperlihatkan kandungan protein daging sapi Bali jantan penggemukan dan
tanpa penggemukan berdasarkan lama aging.

Analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa sapi penggemukan kandungan proteinnya sangat nyata (P<0,01)>

Tabel 1. Perubahan Kandungan Protein Dari Tiga Jenis Otot Berdasarkan Lama Aging
Pada Sapi Bali Jantan Penggemukan Dan Tanpa Penggemukan


Tingginya kandungan protein otot pada sapi penggemukan menandakan bahwa terdapat pengaruh ransum terhadap protein otot, dimana sapi penggemukan pada umumnya mendapatkan makanan penguat dengan kandungan protein yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pakan yang dikonsumsi oleh sapi tanpa penggemukan. Akibatnya kandungan protein otot pada sapi‑sapi penggemukan akan lebih baik daripada sapi‑sapi tanpa penggemukan.
2. Perubahan Lemak Selama Aging
Kandungan lemak otot selama aging terlihat pada tabel 2.
Sistem pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap kan­dungan lemak daging, sekalipun kandungan lemak daging sapi peng­gemukan sedikit lebih tinggi (0,06 unit) dibandingkan dengan sapi tanpa penggemukan. Hal ini menandakan bahwa ransum penggemukan yang digunakan belum cukup untuk memberikan perlemakan yang lebih dibandingkan dengan sapi tanpa penggemukan.
Jenis otot berpengaruh sangat nyata (P<0,01) style=""> dengan sistem pemeliharaan memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)>

Tabel 2. Kandungan Lemak Tiga Jenis Otot Selama Aging Pada Sapi Bali Jantan
Penggemukan Dan Tanpa Penggemukan

KESIMPULAN

1. Maturasi meningkatkan kadar protein daging sapi Bali jantan terutama setelah hari keenam sementara kadar lemak berfluktuasi selama maturasi.
2. Penggemukan sapi Bali jantan meningkatan kadar protein daging dibandingkan dengan tanpa penggemukan .
3. Kadar lemak daging sapi Bali jantan berbeda diantara jenis otot yang digunakan dalam penelitian ini
4. Maturasi sebaiknya dilakukan selama enam hari dan minimal tiga hari berdasarkan atas tingkat perubahan nilai gizi daging.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abustam, E. 1987. Contribution A l'etude Des Caracterisations Des Viandes Bovines Par Les Proprietes Des Tissus Conjonctifs. These Docteur Ingenieur. Universite Blaise Pascal, France.

2. Anonymous, 1979. Hand Book of Australian Meat. 3rd Ed. AMLC Press, Sydney.

3. Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 14th Ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia.

4. Bird, J.W.C., Carter J.H., Triemer, R.E., Brooks, R.M., and Spanier, A.M. 1980. Proteinases in cardiac and skeletal muscle. Fed. Proc. Fed. Am. Soc.Exp. Biol. 39, 20.

5. Creuzot, H., Dumont, B.L. 1983. Proposition d'un Nouveau Dispositif Destine aux Mesures des Forces de Cisaille­ment des Viandes. Viande et Produits Carnes, Numero Special, pp. 87.

6. Dayton, W.R., Reville, W.J., Goll, D.E., and Storemer, M.H. 1976. A Ca2+‑activated protease possibly involved in myofibrillar protein turnover. Partial characterization of the purified protein. Biochemistry 15, 2159.

7. Dumont, B.L. 1952. La Tendrete De La Viande. Annales de Zootechnie, III, 1 ‑ 25. Paris.

8. Hamm, R. 1986. Functional properties of the myofibrillar system and their measurements. In : Muscle as Food (Ed. : Bechtel, P.J.). Academic Press, Inc. Orlando, Florida.

9. Pearson, A.M. 1986. Physical and Biochemical Changes Occur­ring in Muscle during Storage and Preservation. In "Muscles as Food" (P.J. Bechtel, ed.). p. 103 ‑ 134, Academic Press, Inc.

10. Steel, R.G., and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. Mc Graw Hill Book Co, Inc., New York.

Jumat, 04 April 2008

Konversi Otot Menjadi Daging

MODUL II

JUDUL: KONVERSI OTOT MENJADI DAGING

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).

Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).

Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak.

Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan mebrikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat prarigor.

  1. Ruang Lingkup Isi

Modul ini membahas tentang sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot, fase rigor mortis dan proses pematangan daging (aging).

  1. Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan kedua dari enam modul Ilmu Daging; diawali dengan pembahasan modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging. Setelah pembahasan modul kedua ini, dilanjutkan dengan modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul keempat tentang Struktur Otot, modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging dan diakhiri dengan modul keenam tentang Hubungan Antara Struktur Otot Dengan Kualitas Daging.

  1. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk menjelaskan konversi otot menjadi daging.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Sumber Energi Otot

Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet=rangka tubuh) disebut sebagai alat pergerakan tubuh atau sebagai eneriy mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) maka disebut juga sebagai energi kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.

Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).

Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:

1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP

2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.

3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.

Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.

Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.

Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.


Gambar 1. Produksi ATP melalui tiga jalur

B. Rigor Mortis

Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.

Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.

Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.

Fase Rigor Mortis

Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat pada gambar 2.

Pada gambar 2 terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi maka makin cepat terbentuknya rigor mortis

Waktu pascamerta (jam)

Gambar 2. Proses rigor mortis pada kelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan, c=sangat terkuras stamina)


Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis

Aktomiosin

Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.

Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.

Perubahan Karakter Fisikokimia

Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).

Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.

pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.

Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.

Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.

Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis

Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:

1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.

2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.

3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.

C. Maturasi (aging) Pada Daging

Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.

Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut.

Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.

Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.

Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti berikut:

Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952).

Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)

Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4º C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari (Moran dan Smith (1929)

Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)

Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)

Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.

Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi. Peningkatan ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).

Jenis Aging

Ada dua jenis aging pada karkas/daging

dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0–1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21 – 28 hari

wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup (wet aging).

Faktor Pembatas Aging

  1. Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
  2. Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
  3. Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan

Efektivitas Aging

Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable pascamerta yang mempengaruhi keempukan daging

Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya mengalami pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya pengempukannya terjadi secara perlahan

Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi pada umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana frgagmentasi jaringan ikat tidak cukup selama aging

Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi daging sapi 3 – 90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi 28 hari, nilai tambahnya sedikit terhadap perbaikan palatabilitas dan mungkin merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dan perubahan flavor

Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang diperlukan untuk aging tidak terlalu lama.

Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler tinggi, jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the round (semitendinosus0 yang merupakan otot kurang empuk dimana fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih banyak.

Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima konsumen melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian perbaikan besar dalam keempukan dicapai melalui metoda pemasakan yang tepat daripada melalui aging.

Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya keempukan), namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan, pengolahan dan persiapan, semuanya berperan penting dalam pemenuhan akhir dari kesukaan konsumen.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan ruangan penyimpanan pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk pengadaan dan pemeliharaan ruangan tsb.

Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai melakukan aging yang tidak terlalu lama 2-6 hari pascamerta.

Problem berkaitan dengan aging

Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:

1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3.Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan berat

6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.

D. Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indicator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang konversi otot menjadi daging.

E. Tugas

TUGAS Ke : 2 (dua)

  1. TUJUAN TUGAS : Menjelaskan mekanisme rigor mortis
  2. URAIAN TUGAS :
a. Obyek garapan : Daging merah dan putih (ayam)
b.Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan : Membuat suatu portofolio tentang mekanisme rigor mortis pada daging merah dan daging putih. Proses biokimia menyangkut produksi ATP sebagai sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot. Waktu yang dibutuhkan dalam instalasi rigor mortis pada ke dua jenis daging tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama waktu yang diperlukan pada terbentuknya rigor mortis. Hubungan antara fase rigor mortis dengan kualitas daging. Peran fase rigor dalam pengolahan daging. Cara mengetahui/mengukur rigor mortis.

c. Metodologi / cara pengerjaan, acuan yang digunakan : Metode pembelajaran kuliah dan project base learning (Pj.BL). Setiap individu dalam kelompok mencari bahan-bahan melalui perpustakaan (text book dan jurnal), internet, kerja laboratorium jika diperlukan, diskusi kelompok dan presentasi dipantau fasilitator (tutor), yang pada akhirnya menghasilkan suatu laporan dalam bentuk portofolio

d. Kriteria luaran tugas yang dihasilkan/ dikerjakan : mampu menjelaskan dengan tepat melalui komunikasi, kerjasama team dalam kelompok dan kreativitas dalam membuat portofolio bekaitan dengan penyediaan daging untuk kebutuhan masyarakat

  1. KRITERIA PENILAIAN :

a. Kognitif: kemampuan ilmu pengetahuan melalui ujian

b. Afektif: sikap setiap individu melalui kemampuan komunikasi, leadership, kreativitas, kedisiplinan dan kerjasama team

c. Psikomotorik: kemampuan skill dalam kegiatan laboratorium dan perilaku

BAB III. PENUTUP

Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh sebelum ternak disembelih dan penanganan pascapanen yang tidak tepat dapat mengakibatkan kelainan mutu pada daging seperti DFD, DCB, PSE, cold shortening dan thaw rigor.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi karena jenis ternak, individu ternak dan jenis serat.
Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan pada kondisi pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan memecahkan protein spesifik otot menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan akibatnya daging menjadi empuk terutama daerah loin dan rib.
Jika aging pascamerta besar peranannya terhadap perubahan-perubahan protein miofibriler, maka pada protein jaringan ikat (kolagen) hampir tak berarti.
Ada perubahan solubilitas dan ikatan silang kolagen (peningkatan thermolabil) dan yang lainnya menyatakan tidak ada perubahan pada jaringan ikat intramuskuler selama maturasi
Effektivitas maturasi, dari segi ekonomi dapat dipertimbangkan untuk menurunkan lama maturasi dari 7-10 hari menjadi 2-6 hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas

2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando

3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam

4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford

5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey




Jumat, 28 Maret 2008

Membuat nugget oleh Effendi Abustam

Nugget adalah salah satu makanan hasil olahan dari daging (ayam, itik, sapi, udang, ikan dll) yang bentuknya bisa bermacam-macam tetapi pada dasarnya merupakan bongkahan berwarna keemasan (nugget). Makanan olahan ini sangat digemari terutama bagi anak-anak karena rasanya yang gurih/lezat dan dapat disajikan sebagai camilan atau sebagai lauk menemani nasi ataupun roti. Bahan-bahan: bahan dasar utamanya adalah daging yang bisa berasal dari ayam (paling umum), itik, sapi, ataupun yang berasal dari ikan, udang dan sebagainya. Bahan tambahan berasal dari kanji, maizena sebagai bahan pengikat, telur, susu bubuk sebagai bahan pengemulsi dan tentunya bumbu-bumbu sebagai bahan penyedap dan perasa seperti merica, royco rasa ayam (disesuaikan dengan bahan baku utamanya), garam, bawang putih. Agar supaya proses penggilingan dan adonan menjadi lebih mudah dan volumenya bertambah maka tak lupa ditambahkan es batu. Resep yang digunakan di laboratorium kami (Lab. Teknologi Hasil Ternak Unhas) sebagai berikut (food processor kapasitas 750 gr): daging ayam segar 300 gr, kanji 75 gr, tepung maizena 25 gr, roti tawar 2 lbr, susu bubuk 15 gr, tepung roti (panir) 100 gr, telur 1 butir (kuning dicampur ke adonan, putih dioleskan pada nugget pada saat dipanir), merica 3 gr, bawang putih 25 gr, minyak nabati 1 sdk makan, royco (rasa ayam) 1 bks (10 gr). es batu 60 gr. Cara pembuatan: daging bersama beberapa potong es batu digiling dengan menggunakan food processor selama 2 - 3 mn, lalu tambahkan bahan-bahan lainnya, kemudian digiling kembali sampai adonan menjadi halus selama 5 - 10 mn. Adonan dimasukkan dalam loyang kemudian dikukus sampai matang (10 - 15 mn). Setelah dingin, dicetak menggunakan alat cetakan kue yang bentuknya bisa berupa angka delapan (umum) atau bentuk lain sesuai keinginan. Hasil cetakan dipanir setelah terlebih dahulu diolesi kocokan putih telur. Nugget yang telah jadi bisa digoreng langsung atau disimpan di freezer agar membatu (membeku). Dengan demikian bisa bertahan lama.