Minggu, 01 Maret 2009

Konversi Otot Menjadi Daging

MODUL II

JUDUL: KONVERSI OTOT MENJADI DAGING

BAB 1. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).

Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).

Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak.

Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan mebrikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat prarigor.

  1. Ruang Lingkup Isi

Modul ini membahas tentang sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot, fase rigor mortis dan proses pematangan daging (aging).

  1. Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan kedua dari enam modul Ilmu Daging; diawali dengan pembahasan modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging. Setelah pembahasan modul kedua ini, dilanjutkan dengan modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul keempat tentang Struktur Otot, modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging dan diakhiri dengan modul keenam tentang Hubungan Antara Struktur Otot Dengan Kualitas Daging.

  1. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk menjelaskan konversi otot menjadi daging.

BAB II. PEMBAHASAN

  1. Sumber Energi Otot

Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet=rangka tubuh) disebut sebagai alat pergerakan tubuh atau sebagai eneriy mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) maka disebut juga sebagai energi kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.

Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).

Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:

  1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
  2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
  3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.

Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.

Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.

Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.


Gambar 1. Produksi ATP melalui tiga jalur


  1. Rigor Mortis

Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.

Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.

Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.

Fase Rigor Mortis

Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat pada gambar 2.

Pada gambar 2 terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi maka makin cepat terbentuknya rigor mortis

Waktu pascamerta (jam)


Gambar 2. Proses rigor mortis pada kelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan, c=sangat terkuras stamina)


Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis

Aktomiosin

Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.

Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.

Perubahan Karakter Fisikokimia

Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).

Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.

pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah
rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.

Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.

Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.

Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis

Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:

  1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.
  2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
  3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.
  1. Maturasi (aging) Pada Daging

Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.

Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut.

Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.

Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.

Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti berikut:

  • Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952).
  • Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)
  • Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4º C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari (Moran dan Smith (1929)
  • Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)
  • Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)
  • Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.
  • Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi. Peningkatan ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).

Jenis Aging

Ada dua jenis aging pada karkas/daging

  • dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0–1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21 – 28 hari

  • wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-1,11
    °C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup (wet aging).

Faktor Pembatas Aging

  • Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
  • Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
  • Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan

Efektivitas Aging

  • Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable pascamerta yang mempengaruhi keempukan daging
  • Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya mengalami pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya pengempukannya terjadi secara perlahan
  • Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi pada umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana frgagmentasi jaringan ikat tidak cukup selama aging
  • Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi daging sapi 3 – 90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi 28 hari, nilai tambahnya sedikit terhadap perbaikan palatabilitas dan mungkin merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dan perubahan flavor
  • Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang diperlukan untuk aging tidak terlalu lama.
  • Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler tinggi, jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the round (semitendinosus0 yang merupakan otot kurang empuk dimana fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih banyak.
  • Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima konsumen melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian perbaikan besar dalam keempukan dicapai melalui metoda pemasakan yang tepat daripada melalui aging.
  • Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya keempukan), namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan, pengolahan dan persiapan, semuanya berperan penting dalam pemenuhan akhir dari kesukaan konsumen.
  • Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan ruangan penyimpanan pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk pengadaan dan pemeliharaan ruangan tsb.
  • Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai melakukan aging yang tidak terlalu lama 2-6 hari pascamerta.

Problem berkaitan dengan aging

Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:

1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.

2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.

3.Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.

4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.

5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan berat

6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.

  1. Indikator Penilaian

    Melalui pendekatan SCL indicator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang konversi otot menjadi daging.

  2. Tugas

TUGAS Ke : 2 (dua)

  1. TUJUAN TUGAS : Menjelaskan mekanisme rigor mortis
  2. URAIAN TUGAS :

a. Obyek garapan : Daging merah dan putih (ayam)

b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan : Membuat suatu portofolio tentang mekanisme rigor mortis pada daging merah dan daging putih. Proses biokimia menyangkut produksi ATP sebagai sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot. Waktu yang dibutuhkan dalam instalasi rigor mortis pada ke dua jenis daging tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama waktu yang diperlukan pada terbentuknya rigor mortis. Hubungan antara fase rigor mortis dengan kualitas daging. Peran fase rigor dalam pengolahan daging. Cara mengetahui/mengukur rigor mortis.

c. Metodologi / cara pengerjaan, acuan yang digunakan : Metode pembelajaran kuliah dan project base learning (Pj.BL). Setiap individu dalam kelompok mencari bahan-bahan melalui perpustakaan (text book dan jurnal), internet, kerja laboratorium jika diperlukan, diskusi kelompok dan presentasi dipantau fasilitator (tutor), yang pada akhirnya menghasilkan suatu laporan dalam bentuk portofolio

d. Kriteria luaran tugas yang dihasilkan/ dikerjakan : mampu menjelaskan dengan tepat melalui komunikasi, kerjasama team dalam kelompok dan kreativitas dalam membuat portofolio bekaitan dengan penyediaan daging untuk kebutuhan masyarakat

  1. KRITERIA PENILAIAN :

a. Kognitif: kemampuan ilmu pengetahuan melalui ujian

b. Afektif: sikap setiap individu melalui kemampuan komunikasi, leadership, kreativitas, kedisiplinan dan kerjasama team

c. Psikomotorik: kemampuan skill dalam kegiatan laboratorium dan perilaku

BAB III. PENUTUP

Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.

Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh sebelum ternak disembelih dan penanganan pascapanen yang tidak tepat dapat mengakibatkan kelainan mutu pada daging seperti DFD, DCB, PSE, cold shortening dan thaw rigor.

Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi karena jenis ternak, individu ternak dan jenis serat.

Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan pada kondisi pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan memecahkan protein spesifik otot menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan akibatnya daging menjadi empuk terutama daerah loin dan rib.

Jika aging pascamerta besar peranannya terhadap perubahan-perubahan protein miofibriler, maka pada protein jaringan ikat (kolagen) hampir tak berarti.

Ada perubahan solubilitas dan ikatan silang kolagen (peningkatan thermolabil) dan yang lainnya menyatakan tidak ada perubahan pada jaringan ikat intramuskuler selama maturasi

Effektivitas maturasi, dari segi ekonomi dapat dipertimbangkan untuk menurunkan lama maturasi dari 7-10 hari menjadi 2-6 hari.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
  4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
  5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey











Struktur Otot Dan Kualitas Daging

MODUL VI

JUDUL: HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR OTOT DENGAN KUALITAS DAGING

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Ketika berbicara tentang kualitas daging, maka pada umumnya di Negara maju kualitas tersebut diartikan sebagai keempukan daging. Potensi keempukan tersebut diakses melalui penilaian pada saat daging masih segar (tanpa masak). Kedua penyusun utama dari otot atau struktur otot akan sangat besar peranannya dalam penentuan potensi keempukan daging segar tersebut.

Modul ini memperlihatkan hubungan antara kedua penyusun otot tersebut dengan keempukan.

  1. Ruang Lingkup Isi

    Modul ini membahas tentang hubungan antara serat muskuler dengan keempukan daging dan hubungan antara sifat-sifat jaringan ikat dengan kealotan daging

  2. Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan keenam dari enam modul Ilmu Daging; diawali dengan pembahasan modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging. Modul kedua tentang Konversi Otot Menjadi Daging, dilanjutkan dengan modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul keempat tentang Struktur Otot, modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging dan diakhiri dengan modul keenam ini tentang Hubungan Antara Struktur Otot Dengan Kualitas Daging.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk menjelaskan hubungan antara struktur otot dengan kualitas daging.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Hubungan antara serat muskuler dengan keempukan daging

Pada saat ternak mati, terjadi ikatan kimia antara filamen tebal dengan filamen tipis yang akan merubah sifat-sifat kontraktil dari jaringan muskuler menjadi struktur tidak ekstensibel dan kompak, dikenal sebagai rigor mortis dan daging menjadi keras (Locker dan Hagyard, 1963). Marsh dan Leet (1966) menyatakan bahwa kekerasan maksimal otot dicapai pada saat tingkat kontraksi otot mencapai 40 % dari panjang semula. Kontraksi diatas 40 % sampai 60 %, kekerasan menurun (Gambar 1). Ini dikonfirmasikan oleh Marsh dan Carse (1974) yang memperlihatkan bahwa kekerasan maksimal pada daging dicapai pada saat otot memendek antara 35 - 40 % dari panjang semula (Gambar 2). Demikian pula Locker (1960) memperlihatkan hubungan langsung dan positif anatara panjang sarkomer dengan kekerasan daging. Variasi panjang sarkomer otot dapat terjadi akibat model penggantungan karkas selama fase rigor mortis dan model pendinginan yang diterapkan pada karkas (Locker dan Hagyard, 1963).

Kekerasan menurun selama penyimpanan daging sebagai konsekuensi fenomena maturasi melalui modifikasi struktur miofibriler; pelepasan filamen aktin dari strip z (Davey dan Dickson, 1970), kerusakan area yang berdekatan dengan strip Z (Penny, 1980) atau hilangnya strip Z (Young dkk, 1980-1981). Enzim proteolitik, enzim protease yang diaktifkan oleh ion Ca2+ dan enzim protease lisosomal berperan penting pada perubahan-perubahan ini (Ouali dan Valin, 1980-1981).


 

Tingkat Pengkerutan (%)


 


Suhu (°C)

Gambar 1. Hubungan antara suhu (°C) dengan tingkat pengkerutan otot


 

Daya Putus (daN)


 


Tingkat Pengkerutan (%)

Gambar 2. Hubungan antara tingkat pengkerutan (%) dengan daya putus daging (daN)


 

B. Hubungan antara sifat-sifat jaringan ikat dengan kekerasan daging

Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot (Boccard dkk., 1967).

Pengaruh kandungan kolagen

Suatu korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging (Nottingham, 1956). Boccard dkk. (1967) memperlihatkan koefisien korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan daging yang diukur menggunakan Warner Bratzler shear force.. Kopp dan Bonnet (1982) memperlihatkan koefisien korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada daging mentah yang telah mengalami maturasi sebesar + 0,87. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah (Reagan dkk., 1976 ; Jeremiah dan Martin, 1981). Sorensen (1981) mengemukakan bahwa kandungan dan solubilitas kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 % pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus dari ternak dengan genotipe dan umur yang sama. Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen, semakin rendah suhu awal kontraksi dan semakin penting tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging. Menurut Dransfield (1977) bahwa kadar kolagen nampaknya merupakan penduga yang baik bagi kekerasan daging mentah jika perbandingan dilakukan pada otot-otot yang berbeda dari umur yang sama. Sebaliknya pengukuran kadar kolagen nampaknya kurang sensitif jika perbandingan dilakukan pada otot yang sama yang berasal dari ternak yang berbeda. Kadar kolagen bukanlah faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi kekerasan jaringan ikat.

Pengaruh solubilisasi kolagen

Sifat-sifat kimiawi dan komposisi asam amino kolagen mempunyai peranan penting dalam penentuan kekerasan daging. Tingkat solubilitas (Kopp, 1971) dan proporsi dari berbagai tipe ikatan kimia retikulasi kolagen (croos-link) (Bailey, 1972 ; Shimokomaki dkk., 1972) berpengaruh terhadap keempukan daging. Semakin besar jumlah ikatan intra dan inter molekuler pada molekul kolagen, daging semakin keras. Dengan demikian daging anak sapi lebih empuk daripada daging sapi kastrasi umur tua, sekalipun kuantitas jaringan ikat pada anak sapi yang baru lahir lebih banyak daripada ternak yang lebih tua (Schmitt dan Dumont, 1972). Penelitian Abustam (1987) memperlihatkan bahwa solubilitas kolagen intramuskuler menurun dengan meningkatnya umur ternak dan tidak mempunyai hubungan, baik dengan resistensi mekanik daging mentah maupun dengan tegangan maksimal pada kontraksi serat kolagen selama pemanasan. Solubilisasi meningkat secara nyata dimulai pada suhu 70o C dan secara bersamaan terjadi peningkatan kehilangan berat selama pemasakan. Hanya pada suhu 95o C dengan lama pemasakan 60 menit menghasilkan tingkat solubilisasi kolagen yang cukup untuk menurunkan tegangan maksimal pada tingkat destruktif (deformasi) 80 %.

Hasil penelitian yang lain memperlihatkan bahwa dengan menggunakan Nuclear Magnetic Resonance dalam menilai solubilitas kolagen menunjukkan bahwa sesudah denaturasi termik jaringan ikat (70 o C selama 20 menit) terdapat korelasi yang tinggi (r = - 0,78) antara persentase populasi proton dengan waktu relaksasi transversal yang singkat(P2aD) dengan solubilitas jaringan ikat (Abustam, 1987).

Pengaruh morpho-anatomie jaringan ikat

Dumont dkk (1977) menyatakan bahwa variasi indeks rata-rata kekerasan otot dapat dijelaskan melalui karakter otot yang berhubungan dengan bentuk otot, karakter dimensional dan morphologie kelompok berkas serat utama dari perimisum, dan perbedaan-perbedaan karakter mikroskopik seperti repartisi dan penyebaran jaringan ikat serta jumlah saluran darah ke otot. Barbu (1977) menunjukkan bahwa indeks kekerasan otot berhubungan dengan karakteristik berkas jaringan ikat, densitas rata-rata miosken (kelompok berkas serat utama) yang dilakukan pada dua sumbu utama pada otot (lebar dan tebal), dan karakteristik perimisium. Densitas linier dari berkas perimisium berpengaruh secara langsung pada keempukan daging (Dumont, 1983 ; Abustam, 1984). Beberapa karakter morpho-anatomik dari berkas perimisium dapat dipertimbangkan seperti, jumlah berkas serat utama dengan ukuran kecil, homogenitas, dan kehalusan (tipis) dari berkas perimisium kedua, dalam menilai variasi kadar kolagen dan kekerasannya (Abustam, 1984). Densitas linier dari berkas perimisium dan jumlah berkas serat utama bervariasi tergantung pada jenis otot. Terjadi penurunan densitas linier dengan meningkatnya umur ternak yang dapat dijelaskan melalui peningkatan luas permukaan rata-rata dari berkas serat utama. Densitas linier berkas perimisium hanya dapat menjelaskan sebesar 29 % dari variasi resistensi mekanik daging mentah. Dengan menggabungkan antara densitas linier dan kadar kolagen, keduanya dapat menjelaskan 55 % variasi kekerasan daging (Abustam, 1987).

Kondisi pemasakan

Suhu dan lama pemasakan memegang peranan penting pada perubahan komponen jaringan ikat pada daging. Otot dengan potensi keempukan yang tinggi memerlukan suhu pemasakan dan waktu pemasakan yang cepat. Sebaliknya pada otot yang dalam keadaan mentah memperlihatkan kekerasan yang berarti memerlukn waktu pemasakan yang cukup lama. Berdasarkan atas sifat kolagen yang membutuhkan suhu untuk mengalami gelatinisasi pada suhu 80°C, perlu menjadi pertimbangan penerapannya, dengan waktu pemasakan yang cukup lama, minimal diatas satu jam. Pemasakan yang melampaui batas optimal pada daging empuk akan menyebabkan terjadinya pengerasan, pemasakan berlanjut setelah batas optimal tersebut akan mengakibatkan pengempukan yang diharapkan. Dengan demikian padanan antara suhu dan lama pemasakan yang digunakan harus disesuaikan dengan potensi keempukan dari otot tersebut. Berdasarkan metode pemasakan ini maka dikenal pemasakan lambat dan pemasakan cepat.

Pengaruh umur

Dapat disimpulkan secara umum, bahwa keempukan menurun dengan bertambahnya umur (Gambar 3). Namun demikian perbaikan pakan (pemberian pakan enersi tinggi) pada ternak sapi perah afkir sebelum penyembelihan untuk memperbaiki kondisinya berdampak terhadap perbaikan keempukan, lebih empuk dari sapi yang berumur muda dengan kondisi puberitas. Perbaikan kualitas kolagen melalui terbentuknya kolagen baru (neo kolagen) yang ditandai dengan sifat kolagen tersebut kembali seperti pada kolagen anak sapi (sapi muda) yakni ikatan silang yang labil terhadap panas, dapat menjelaskan fenomena tersebut.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3. Perubahan keempukan berdasarkan umur pada otot berbeda

  1. Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indikator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang hubungan antara struktur otot dan kualitas daging

PENUTUP

Variasi kualitas, khususnya keempukan pada otot pascamerta ternak sangat ditentukan oleh kedua komponen utama penyusun otot : konsistensi jaringan muskuler dan sifat-sifat fisik dan kimia jaringan ikat. Jika pada awalnya para peneliti dibidang ilmu pangan khususnya ilmu daging menduga variasi kekerasan daging ditentukan oleh sifat-sifat atau karakter jaringan muskuler seperti tingkat kontraksi dan relaksasi otot selama pasca merta ternak, maka dugaan ini menjadi berkurang setelah Lehman pada tahun 1907 memperlihatkan variasi kekerasan otot akibat kadar kolagen yang berbeda diantara otot. Namun perkembangan berikutnya terlihat bahwa kadar kolagen sendiri belum bisa menjelaskan 100 % variasi kekerasan daging. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti lainnya dan ditempat lainnya dan dengan menggunakan teknik pengukuran kekerasan daging baik yang sama maupun yang berbeda memperlihatkan masih selalu terjadi hasil yang berbeda dalam menjelaskan variasi kekerasan tersebut. Hal mana mengakibatkan penelitian tentang keempukan daging dengan segala faktor yang bisa mempengaruhinya menjadi objek tak ada hentinya. Penerapan teknik canggih untuk mengevaluasi kekerasan daging dari sisi jaringan ikat, yang mana komponen inilah yang dianggap paling berperan dalam kekerasan daging, seperti penggunaan Nucklear Magnetic Resonance, pendekatan analisis image untuk melihat repartisi dan penyebaran jaringan ikat pada potongan otot, teknik khromatografi dan spektoskopik untuk melihat ikatan silang kolagen, teknik osmolaritas pada otot, dan lain-lainya memperlihatkan betapa pentingnya daging yang empuk bagi para konsumen di negara-negara industri maju.

Dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kontraksi dan maturasi otot yang sama, kekerasan daging menjadi penting (meningkat) jika kadar kolagen tinggi, tingkat retikulasi (jenis dan jumlah ikatan silang kolagen) meningkat, dan pada otot dengan kadar kolagen yang sama, densitas linier dari berkas perimisium serta karakter morpho-anatominya merupakan kriteria-kriteria yang penting dalam penilaian kekerasan daging.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
  4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
  5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey

Kualitas Daging

MODUL V

JUDUL: KARAKTERISTIK KUALITAS DAGING

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa (flavour), dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi, tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas ini sering pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan). Penilaian karakteristik kualitas ini yang pada awalnya dinilai oleh konsumen secara organoleptik, berkembang menjadi penilaian dengan menggunakan peralatan untuk menghindari subyektifitas. Namun demikian para pakar dibidang organoleptik menyatakan bahwa justru penilaian dengan menggunakan alatlah yang lebih subyektif karena alat merupakan imitasi dari organ-organ panca indera yang digunakan lebih awal dalam penilaian tersebut. Alat yang dipergunakan untuk menilai keempukan daging diciptakan melalui imitasi dari kemampuan gigi geligi (geraham) dalam melakukan gigitan pertama dan selama pengunyahan pada daging. Pendekatan statistik melalui penggunaan sejumlah panelis terlatih dan pengulangan berulang kali dalam penilaian kualitas secara sensorik/organoleptik dimaksudkan adalah untuk lebih mengobjektifkan hasil penilaian tersebut.

Modul ini dimaksudkan untuk membahas pentingnya sifat-sifat sensori (karakteristik kualitas) pada daging dikaitkan dengan preferensi konsumen dalam penilaian kualitas, serta faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya variasi dan perubahan-perubahan dari sifat-sifat kualitas tersebut.

  1. Ruang Lingkup Isi

    Modul ini membahas tentang atribut kualitas daging:

    1. Warna: faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pigmen daging
    2. Kempukan: metoda penilaian keempukan dan faktor-faktor penyebab variasi keempukan
    3. Flavor (citarasa)
    4. Kebasahan
  2. Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan kelima dari enam modul Ilmu Daging; setelah membahas modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging, kemudian modul kedua tentang Konversi otot menjadi daging, modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul keempat tentang Struktur Otot dan modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging.

  1. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk mengevaluasi kualitas daging.

BAB II. PEMBAHASAN

Faktor-Faktor Sensorik Yang Berkaitan Dengan Kualitas Daging:

  • Warna Daging

Merupakan sifat kualitas yang penting tidak hanya bagi industri daging tetapi juga bagi konsumen rumah tangga. Bagi industri daging bahwa penampilan fisik daging yang diterima oleh konsumen pada tingkat eceran memberikan tingkat penerimaan yang tinggi (Cross, dkk., 1986). Bagi konsumen persepsi paling awal pada saat akan membeli daging dan menjadi pertimbangan utama adalah warna. Cross, dkk (1986) menyatakan bahwa ketika mempertimbangkan gambaran spesifik dari penampilan fisik daging, penelitian menunjukkan bahwa warna daging merupakan faktor kualitas yang lebih berpengaruh bagi pemilihan konsumen. Konsumen mengkaitkan antara warna dengan kesegaran daging (Adams dan Huffman, 1972), dimana melalui pembelajaran lewat penelitian dinyatakan bahwa warna daging segar adalah merah cerah (bright red) dan penyimpangan dari warna ini menjadikan daging tersebut tidak diterima (Urbain, 1952).

Pigmen prinsipal pada jaringan otot yang berhubungan dengan warna adalah pigmen darah hemoglobin, terutama dalam aliran darah, dan mioglobin yang terdapat dalam sel. Sekitar 20 -30% dari total pigmen yang ada dalam ternak hidup adalah hemoglobin (Fox, 1966). Fungsi biologis dari hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel otot melalui sistem peredaran darah, sedang fungsi mioglobin adalah mengikat oksigen pada dinding sel untuk digunakan pada metabolisme pemecahan secara berurutan dari beberapa metabolit, seperti yang ada pada siklus asam trikarboksilat.

Mioglobin merupakan pigmen utama yang bertanggung jawab untuk warna daging. Ada tiga macam mioglobin yang memberikan warna yang berbeda; pada jaringan otot yang masih hidup, mioglobin dalam bentuk tereduksi dengan warna merah keunguan, mioglobin ini seimbang dengan mioglobin yang mengalami kontak dengan oxigen, oximioglobin yang berwarna merah cerah. Ketika bagian interior daging mengalami kontak dengan oxygen yang berasal dari udara, oxygen akan bergabung dengan heme dari mioglobin untuk menghasilkan oximioglobin. Jadi warna daging berubah dari merah keunguan menjadi merah cerah. Jika oxygen dikeluarkan dari potongan daging, warna akan berubah kembali menjadi merah keunguan sebab pigmen didesoksigenasi kembali menjadi mioglobin (Cross, dkk., 1986; Gambar 1).


 


 

Gambar 1. Perubahan-perubahan pigmen pada daging merah


 

Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan biasanya disebut blooming pada industri daging. Oximioglobin yang merah tetap stabil sepanjang heme tetap teroksigenasi dan besi dalam heme tetap pada status tereduksi (Clydesdale dan Francis, 1971).

Bentuk lain dari mioglobin ditandai adanya oxidasi besi dari heme didalam mioglobin dari bentuk Fe 2+ (ferrous) menjadi Fe 3+ (ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen utama penyebab penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Nampaknya merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan (Gambar 1). Reaksi ini dapat reversible sepanjang ada senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide) didalam daging. Ketika kemampuan pereduksi dari otot hilang, namun, warna dari daging tetap coklat sebab atom besi dari heme yang telah teroksidasi tidak dapat direduksi. Namun demikian daging yang demikian masih menyenangkan untuk dikonsumsi setelah dimasak (Cross, dkk., 1986).

Setelah pembentukan metmioglobin, oksidasi lebih lanjut yang merubah mioglobin disebabkan oleh enzim dan bakteri yang akan menghasilkan warna coklat, hijau, dan senyawa –senyawa dengan penampilan memudar.

Beberapa otot pada karkas berubah warnanya lebih cepat daripada yang lain. Ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan mereduksi metmioglobin (metmioglobin reducing ability, MRA) dari sejumlah otot. Beberapa otot mempunyai pereduksi yang berlebih, dimana besi pada heme dari molekul mioglobin dalam status tereduksi untuk suatu periode yang lama, menghasilkan apakah dalam bentuk mioglobin tereduksi atau oximioglobin. Hal ini yang menjelaskan mengapa beberapa potongan daging akan tahan 4 – 5 hari pada lemari pendingin, sementara yang lain akan berubah warna hanya sesudah 1 – 2 hari. Kemampuan mereduksi metmioglobin (MRA) didasarkan atas jumlah glukosa dan enzim pereduksi didalam otot. MRA dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antemortem seperti status nutrisi dan jumlah latihan yang diterima oleh ternak sebelum disembelih.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pigmen daging

Tekanan oksigen yang tinggi adalah karakteristik dari oksimioglobin dan ditemukan pada permukaan daging. Tekanan oksigen yang rendah mengakibatkan pembentukan metmioglobin dan pada akhirnya penampilan daging menjadi coklat.

Reaksi oksidasi mioglobin ungu menjadi metmioglobin coklat disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti suhu tinggi, pH rendah, garam, atmosfer oksigen rendah, bakteri aerobik, daya tembus oksigen yang rendah dari film pembungkus. Faktor-faktor ini penting, bahwa mereka menyebabkan desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil dan penurunan oksigen yang tersedia, yang mana mengakibatkan tekanan oksigen rendah.

Suhu yang tinggi, menyebabkan pembentukan globin yang berfungsi untuk mempertahankan heme menjadi berkurang, akibatnya terjadi desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil. Kemudian mioglobin tereduksi yang tidak stabil tersebut dioksidasi menjadi metmioglobin.

Pada nilai pH <5,4, oksidasi mioglobin akan terjadi. pH yang rendah akan menyebabkan denaturasi terhadap protein globin yang mempertahankan heme dan berikutnya mengakibatkan pelepasan oksigen dari heme demikian juga oksidasi molekul besi. Asam adalah agen oksidasi yang dikenal baik dan oleh karena itu mengoksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Karena pH menurun secara kontinu, maka tingkat oksidasi yang terjadi akan meningkat.

Garam, sebagai agen oksidasi mioglobin, mempunyai dua mekanisme dari pelaksanaan oksidasi. Pertama, garam menurunkan pH pada kondisi buffer daging, jadi oksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Kedua, garam menurunkan pengambilan oksigen, menyebabkan tekanan oksigen yang rendah.

Perubahan warna daging dapat juga dihubungkan dengan kontaminasi bakteri aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisi dimana terjadi. Permintaan oksigen yang tinggi bagi bakteri aerobik pada fase logaritmik dari pertumbuhan mengakibatkan pembentukan metmioglobin, menghasilkan pengaruh terhadap perubahan warna. Peningkatan jumlah bakteri aerobik mengakibatkan permukaaan daging berubah warnanya dari merah oksimioglobin menjadi coklat metmiglobin dan kemudian ke ungu mioglobin tereduksi.

Jenis kemasan yang digunakan juga memegang peranan pada oksidasi dan pertumbuhan bakteri.

Pengurasan glikogen sebelum ternak disembelih akan mengakibatkan perubahan warna daging pada saat mengalami rigor mortis dari warna yang seharusnya merah cerah menjadi merah tua (gelap) disertai dengan struktur otot yang merapat (firm) dan kering, dikenal sebagai dark firm dry (dfd) atau biasa juga disebut sebagai dark cutting beef (dcb) pada ternak sapi atau kerbau. Kelainan ini ditandai dengan pH daging yang masih cukup tinggi pada saat rigor mortis yakni diatas pH > 5.8. Dibedakan tiga tingkatan DCB yakni DCB ringan jika pH 5.8 – 6.0, DCB sedang pH 6.0 – 6.2 dan DCB berat jika pH > 6.2.

Warna daging pascarigor juga bisa berwarna pucat akibat instalasi rigor mortis yang sangat cepat yakni bisa beberapa menit pada daging babi yang diakibtakan karena stress yang sangat berat. Kejadian ini merupakan kebalikan dari DCB dan disebut sebagai PSE (pale, soft, exudative): daging berwarna pucat, mudah terurai (sangat lembek), dan berair; pH < 5.3 (dibawah titik iso elektrik daging)

Stimulasi Listrik pada karkas mengakibatkan warna otot menjadi lebih merah cerah pada bagian yang distimulasi dibandingkan pada daerah yang tidak distimulasi (Gambar 2).


 


 

Gambar 2. Pengaruh stimulasi listrik terhadap warna otot: warna merah cerah pada stimulasi listrik (kanan) dibanding tanpa stimulasi listrik (kiri)


 

  • Keempukan Daging

Bagi konsumen, keempukan merupakan satu dari kualitas organopletik yang prinsipal pada daging. Keempukan merupakan komponen utama, sebesar 64 %, dalam penilaian tekstur daging masak, kemudian menyusul kebasahan sebesar 19 % (Dransfield dkk., 1984).

Keempukan daging dapat dinilai berdasarkan metoda langsung dan tidak langsung.

Metoda langsung (penilaian sensorik)

Umumnya digunakan oleh para konsumen, penilaian sensorik kualitas daging, khususnya keempukan, didasarkan atas kemudahan penetrasi gigi pada daging dan usaha-usaha yang dilakukan oleh otot-otot pada daerah geraham selama pengunyahan. Penilaian secara sensorik dilakukan oleh sejumlah juri degustasi dalam bentuk panelis. Masing-masing juri menilai keempukan berdasarkan atas angka-angka (skor) yang telah ditentukan terlebih dahulu ; 1 (sangat keras) dan 10 (sangat empuk). Indeks keempukan daging ditentukan berdasarkan nilai rata-rata dari masing-masing juri.

Metoda ini memungkinkan untuk menilai secara langsung sifat-sifat organoleptik daging dan khususnya memungkinkan untuk dapat membedakan antara kekerasan jaringan ikat dan keempukan miofibriler (Cover dkk., 1962 ; Dutson dkk., 1976).

Untuk mengevaluasi seakurat mungkin kualitas organoleptik daging, seharusnya para penguji terdiri dari juri terlatih dengan jumlah yang banyak (Amerine dkk., 1965). Cross dkk. (1978) menemukan suatu koefisien korelasi sebesar 0,90 antara nilai keempukan dari juri berbeda yang diseleksi dan sangat terlatih. Penelitian lain memperlihatkan koefisien repetisi penilaian keempukan yang dilakukan oleh 10 anggota juri yang tidak terlatih sebesar 0,56 (Hovenden dkk., 1979).

Hal yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang serupa selama satu sesi pengujian, seharusnya juri yang digunakan adalah orang yang sama (Touraille, 1982). Metoda analisis sensorik juga perlu menggunakan jumlah sampel yang banyak, selain itu masalah yang berkaitan dengan homogenitas daging dan pengaruh pemasakan dapat saling menutupi, perlu diperhatikan.

Nampaknya juri degustasi dapat membedakan dengan mudah sampel yang berasal dari otot yang berbeda dibandingkan dengan yang berasal dari otot yang sama. Demikian juga, mulut akan menjadi lebih sensitif pada keempukan jika dilakukan pengujian pada otot-otot dengan tekstur yang berbeda seperti halnya teknik pengukuran daya putus (Khan dkk., 1973). Selain itu keempukan merupakan persepsi multidimensional dan membutuhkan definis yang spesifik untuk mendefinisikannnya. Perlu pembatasan dalam penilaian kedalam pengertian kebasahan dan keempukan.

Metoda tidak langsung

Metoda ini didasarkan pada penilaian dengan menggunakan instrumen (mekanik) dan analisis kimia daging. Penilaian instrumen mengimitasi lebih atau kurang pengunyahan dalam bentuk pengguntingan/pengirisan atau pemecahan daging.

Pendekatan kimiawi bertujuan untuk mengkarakterisasi kuantitas dan kualitas komponen muskuler yang terlibat dalam kekerasan muskuler, dimana kolagen merupakan salah satu faktor utama dari keragaman.

Penilaian secara instrumental

Sejumlah alat telah dikembangkan untuk mengestimasi keempukan atau sifat-sifat mekanik daging. Peralatan ini didasarkan atas cara kerja seperti: daya putus (pengguntingan), penetrasi, pencincangan atau kompressi (Asghar dan Pearson, 1980).

Metoda yang paling sering digunakan adalah pengguntingan/pemotongan (shear force) dan kompressi (compression).

Warner-Bratzler (WB) merupakan alat pengukur daya putus daging yang paling sering digunakan; alat ini diciptakan oleh Warner pada tahun 1928 dan selanjutnya dimodifikasi oleh Bratzler pada tahun 1932 dan pada saat itulah disebut sebagai Warner Bratzler Shear Force (Pearson, 1963). Beberapa hasil pengukuran memperlihatkan bahwa nilai daya putus yang tercatat berhubungan erat dengan komponen miofibriler dari pada komponen jaringan ikat (Paul dkk., 1973). Dari sejumlah hasil penelitian diperoleh koefisien korelasi yang baik antara pengukuran daya putus menggunakan Warner Bratzler dengan pengukuran secara sensorik (panelis tes) yakni antara 0,65 - 0,85 (Pearson, 1963). Koefisien korelasi ini menjadi rendah jika terdapat perbedaan tegangan yang besar antar sampel jaringan ikat (Penfield dan Meyer, 1975).

Creuzot-Dumont (CD) juga merupakan alat pengukur daya putus daging, diciptakan di Perancis (Creuzot dan Dumont, 1983), dengan prinsip kerja yang sama dengan WB shear force, yakni daging dipotong/diputus tegak lurus pada arah serat. Perbedaan diantara keduanya yakni dari sisi perletakan sampel, dimana pada CD shear force sampel diletakkan dalam satu sel tertutup sehingga tidak terjadi deformasi lateral. Sedang pada WB shear force sampel diletakkan diatas pisau berlubang berbentuk segitiga yang terbuka, memungkinkan ketidakseimbangan (tidak stabil) sampel sehingga dapat terjadi deformasi lateral pada saat penekanan/pemutusan sampel. Terdapat korelasi yang baik antara kedua alat shear force tersebut, berdasarkan hasil penelitian Morelli (1980) dan Abustam (1984).

Karena kesulitan mengontrol fungsi kerja dari pengukur keempukan daging dengan sistem daya putus (shear force) maka dikembangkan alat pengukur generasi baru yang berfungsi kompressi. Alat ini dapat mengukur tegangan yang berasal dari miofibriler dan dari jaringan ikat, tergantung pada tingkat deformasi yang diterapkan; deformasi 20 % akan mengukur tegangan yang berasal dari miofibriler sedangkan 80 % akan mengukur tegangan jaringan ikat.(Lepetit dan Sale, 1985 ; Lepetit dkk., 1986).

Mesin universal seperti INSTRON, sekarang ini banyak digunakan dalam pengukuran keempukan karena sel tempat sampel bisa diganti-ganti sesuai dengan kebutuhan ; daya putus atau kompressi.

Evaluasi kimiawi

Penilaian kimia (kadar) kolagen sebagai komponen utama jaringan ikat mulai dikembangkan pada saat Lehman pada tahun 1907 memperlihatkan hubungan antara kandungan kolagen dari beberapa otot dengan keempukan otot-otot tersebut. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan hubungan tidak langsung anatara kandungan kolagen dengan kekerasan pada daging. Pengukuran kadar kolagen dilakukan dengan mengukur asam amino hidroksiprolin dengan beberapa teknik; spectrofotometer, nuclear magnetic resonance, infra red spectrofotometer, metoda histokimia dan immunologie (Bergmann dan Loxley, 1963 ; Jozefowics dkk., 1977 ; O'Neil dkk., 1979 ; Bonnet dan Kopp, 1985 ; Etherington dan Sims, 1981).

Pengukuran tingkat retikulasi kolagen yang sangat ditentukan oleh ikatan-silang dilakukan dengan mengukur solubilitas kolagen dan tegangan isometrik kolagen selama pemanasan. Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat retikulasi kolagen yang erat kaitannya dengan umur ternak memperlihatkan hubungan yang erat dengan kekerasan daging.

  • Flavor (Citarasa)

Citarasa daging, merupakan fenomena yang kompleks berkaitan dengan senyawa-senyawa yang larut dan volatil. Melibatkan organ pencicipan dan penciuman dalam penilaiannya.

Citarasa bervariasi berdasarkan atas : potongan daging dan tingkat infiltrasi lemak (marbling), tingkat perubahan yang terjadi selama maturasi, beberapa karakter zooteknis dan cara penyajian masakan.

  • Kebasahan

Merupakan kemampuan daging untuk melepaskan jus (cairan daging) selama pengunyahan, sebaliknya kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air disebut sebagai water holding capacity (WHC).

Kebasahan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian kualitas daging, bersama dengan keempukan dapat menjelaskan sampai > 80 % pilihan konsumen dinegara maju terhadap kualitas daging. Daging yang empuk pada umumnya pada saat gigitan pertama akan menghasilkan jus yang cukup berarti. Terdapat korelasi yang baik antara pelepasan jus daging dengan keempukan.

Kebasahan bervariasi berdasarkan pH, maturasi dan faktor stress.

  • Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indikator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang karakteristik kualitas daging.

  • Tugas

MATA KULIAH :
Dasar Teknologi Hasil Ternak (271I123)

SEMESTER :
Ganjil 2007/2008 SKS : 3

TUGAS Ke : 3 (tiga)

  1. TUJUAN TUGAS : Pemecahan masalah kualitas daging
  2. URAIAN TUGAS :

    a. Obyek garapan : Daging sapi dan ayam segar

    b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan : Pemecahan masalah terhadap keluhan konsumen yang diajukan ke Lembaga Konsumen tentang kualitas daging yang rendah mutunya. Skenarionya sebagai berikut: sejumlah konsumen datang ke lembaga konsumen di Makassar dan mengajukan klaim atas daging yang dibeli di salah satu pasar traditional di Makassar. Daging tersebut tidak seperti biasanya, ditandai dengan penampilan dan keempukannya yang sangat rendah (kualitas rendah). Pekerjaan yang harus dilakukan adalah melakukan pemecahan masalah terhadap kualitas daging tersebut diawali dengan studi kepustakaan tentang sifat-sifat daging; faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penampilan dan kualitas daging (atribut kualitas daging), peran struktur otot (jaringan penyusun otot) terhadap keempukan, teknik yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas daging. Pada akhirnya jelaskan bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kualitas daging segar melalui penanganan pascapanen yang tepat

    c. Metodologi / cara pengerjaan, acuan yang digunakan : Metode pembelajaran melalui kuliah dan problem base learning (PBL). Setiap individu dalam kelompok mencari bahan-bahan melalui perpustakaan (text book dan jurnal), internet, kerja laboratorium jika diperlukan, diskusi kelompok dan presentasi dipantau fasilitator (tutor), yang pada akhirnya menghasilkan suatu laporan dalam bentuk portofolio

    d. Kriteria luaran tugas yang dihasilkan/ dikerjakan : mampu menjelaskan dengan tepat melalui komunikasi, kerjasama team dalam kelompok dan kreativitas dalam membuat portofolio bekaitan dengan penyediaan daging yang berkualitas


 

  1. KRITERIA PENILAIAN :

    a. Kognitif: kemampuan ilmu pengetahuan melalui ujian

    b. Afektif: sikap setiap individu melalui kemampuan komunikasi, leadership, kreativitas, kedisiplinan dan kerjasama team

    c. Psikomotorik: kemampuan skill dalam kegiatan laboratorium dan perilaku


 

BAB III. PENUTUP

Karakteristik kualitas daging dijelaskan melalui persepsi manusia dalam menilai kualitas berdasarkan organ panca indera. Warna, keempukan, flavor, dan citarasa merupakan sifat kualitas daging yang mendapat pertimbangan oleh konsumen. Keempukan merupakan karakter kualitas yang paling utama bagi penilaian konsumen (64 %), bersama dengan kebasahan meningkat menjadi > 80 %. Warna merupakan persepsi awal dari konsumen pada saat pemilihan daging. Penilaian secara sensorik kemudian diimitasi dengan alat dengan alasan objektifitas, namun pendekatan statistik pada penilaian sensorik akan meningkatkan objektifitas dari penilaian sensorik. Sejumlah variasi diamati pada sifat-sifat kualitas daging yang pada dasarnya disebabkan oleh komponen penyusun otot baik sebelum maupun setelah pemotongan ternak. Penelitian-penelitian yang mengarah kepada komponen penyususn otot sangat terbuka untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada sifat-sifat kualitas daging.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
  4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
  5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey

Struktur Otot

MODUL IV

JUDUL: STRUKTUR OTOT


 

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang dihasilkan dari perubahan post mortem (pascamerta) dari otot strip, otot yang membalut tulang rangka tubuh (skeletal), dikenal sebagai jaringan muskuler. Jaringan muskuler merupakan jaringan yang sangat berkembang dan sangat spesifik, dimana berlangsung perubahan energi kimia menjadi energi mekanik yang menjamin penanganan dan pergerakan ternak. Sistem ini yang menjamin metabolisme energetik jaringan muskuler dan peranannya sangat besar terhadap warna, tekstur dan kompoisisi otot. Sistem ini yang mempengaruhi secara langsung sedikit atau banyaknya terhadap karakteristik organoleptik (sensorik) daging dan merupakan penanggung jawab yang besar pada heterogenitas yang teramati pada tingkat sifat-sifat daging. Dengan demikian pengetahuan tentang karakteristik otot melalui struktur dan sifat-sifat jaringan muskuler diperlukan dalam pemilihan otot dan perlakuan optimal yang diterapkan pada otot sesudah penyembelihan ternak merupakan jaminan karakteristik organoleptik daging. Dan pada akhirnya memungkinkan dalam pemilihan cara pemasakan daging yang tepat dan sesuai dalam meminimalkan variasi keempukan yang sering kurang dipertimbangkan oleh para konsumen.

Dalam materi kursus ini akan dibahas komponen penyusun otot dan sifat-sifat yang dimilikinya.

  1. Ruang Lingkup Isi

Modul ini membahas tentang:

  1. Struktur otot yakni komponen jaringan penyusun otot: jaringan muskuler dan jaringan ikat
  2. Tipe serat muskuler
  3. Variabilitas dari penyusun otot
  4. Kaitan modul

Modul ini merupakan urutan keempat dari enam modul Ilmu Daging; setelah membahas modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging, kemudian modul kedua tentang Konversi otot menjadi daging, dan modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging.

  1. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL, pembelajar diharapkan mampu mengurai komponen penyusun otot

BAB II. PEMBAHASAN

  1. Struktur Otot

Sejumlah besar otot (sekitar 200 pada seekor sapi) dengan ukuran, bentuk dan struktur internal yang berbeda, merupakan penyusun rangka tubuh ternak. Suatu seri proses perubahan biokimia dan biofisik terjadi setelah ternak mati untuk merombak otot-otot tersebut menjadi daging yang dapat dikonsumsi.oleh manusia.

Struktur dari otot-otot strip mengikuti skema organisasi secara umum : kumpulan dari serat-serat otot yang bergabung satu sama lainnya dan ditopang oleh jaringan ikat yang banyak (Barone, 1968; Gambar 1). Organisasi dari jaringan ikat ini memungkinkan untuk membedakan kelompok serat-serat muskuler menjadi kelompok pertama, kelompok kedua, kelompok ketiga dan kadang sampai kelompok empat (Legras dan Schmitt, 1973; Gambar 2). Pada otot besar, kelompok tingkat superior akan mengelompokkan kelompok dengan tingkat yang lebih rendah (inferior).

Umumnya diketahui bahwa sifat-sifat reologik daging sangat tergantung pada kedua komponen tersebut: serat muskuler dan jaringan ikat. Pengetahuan tentang struktur otot sangat penting tidak hanya untuk karakterisasi otot tetapi juga untuk penilaian karaktersitik kualitatif daging, khususnya potensi keempukannya.


 


 


 


 


Gambar 1. Penyebaran jaringan ikat pada daging

Daging segar (kiri), Histologis (kanan)


 


Gambar 2. Strukturasi jaringan ikat muskuler (Mioskhen)

Komponen Penyusun Otot

  1. Jaringan Muskuler (Serat Muskuler)

    Unit dasar dari semua otot adalah serat muskuler yang berbentuk silinder dengan beberapa sentimeter panjangnya dan diameternya bervariasi antara 0,01 - 0,1 mm. Serat ini tersusun atas dinding (sarkolema), sarkoplasma dan miofibriler (Gambar 3)
    yang ditutupi/diselubungi oleh bagian-bagian longitudinal dan transversal dari retikulum sarkoplasmik (Porter, 1961; Gambar 4). Proporsi sarkoplasma tergantung pada serat otot dan mengelilingi miofibriler serta berisi secara khusus dengan sejumlah enzim, mioglobin, mitokhondria, lemak dan glikogen (Bennett, 1960). Nampaknya perbandingan antara jumlah sarkoplasma dengan miofibriler adalah proporsional sesuai dengan kebutuhan energentik otot.

    Satu serat muskuler dengan diameter 60 µm mengandung sekitar 2000 miofibriler dengan diameter 1,0 µm. Miofibriler terdiri atas miofilamen tebal (miosin) dan miofilamen tipis (aktin) (Gambar 3). Filamen tebal tersusun atas molekul myosin, dimana kepala myosin menguak kearah lateral untuk berhubungan dengan filament tipis pada saat terjadi kontraksi (Gambar 5). Filamen aktin terdiri atas molekul aktin yang tersusun seperti rangkaian biji-biji kalung atau tasbih (Gambar 6).

    Serat muskuler dibagi secara longitudinal dengan suatu seri pita, yang dibawah mikroskop optik, nampak secara bergantian terang (pita I) dan gelap (pita A). Pita I dibagi pada bagian tengahnya oleh satu garis tebal yakni strip (jalur) Z. Bagian yang terdapat diantara dua strip Z disebut sarkomer dan merupakan sebagai unit dasar kontraktil. Variasi panjang yang diamati selama kontraksi dan pemanjangan serat terjadi karena adanya pergesakan antar filamen satu dengan lainnya.


     


     


     


     


     


 

Gambar 3. Struktur otot (kiri) dan organisasi miofibriler (kanan)


 


 


 


 


 


Gambar 4. Retikulum sarkoplasmik


 


 


 


 

Gambar 5. Skema organisasi myosin Gambar 6. Struktur filamen aktin


 

Pergesekan antara filament tebal dengan filament tipis pada tingkat sarkomer dimana troponin (C, I, dan T) turut berperan dalam pergesekan tersebut dikenal sebagai kejadian kontraksi otot. Kontraksi ini menandai terjadinya pemendekan sarkomer. Penurunan panjang sarkomer dapat mencapai 10 - 15 % dari panjang semula selama kontraksi (Bailey, 1972).

  1. Jaringan Ikat

    Secara histologis jaringan ikat terdiri atas tiga macam : 1) epimisium, merupakan amplop sebelah luar dari otot yang mengelilingi sejumlah kelompok ketiga dari serat muskuler dan disebut sebagai mioskhen (Schmitt dkk, 1979). Epimisium ini terkait pada tulang melalui bantuan tendon, 2) perimisium, merupakan jaringan ikat yang bercabang-cabang didalam otot dan membentuk suatu jaringan perimisium yang mengelilingi kelompok serat muskuler, 3) endomisium, merupakan pembungkus dari serat otot dan terdapat paling dalam pada otot. Kelompok paling kecil dari serat muskuler disebut sebagai kelompok pertama (Gambar 2).

    Komponen jaringan ikat

    Secara struktural, jaringan ikat terdiri atas tiga komponen : sel, cairan dasar, dan serat Terdapat tiga sel dalam jaringan ikat : 1) fibroblast, bertanggung jawab pada sintesa dan pembaharuan bahan-bahan ekstra seluler, 2) adiposit, bertanggung jawab pada penyimpanan dan metabolisme lemak, 3) makrofak tissuler, bertanggung jawab pada proses pertahanan immunisasi (Bloom dan Fawcett, 1975). Cairan dasar, merupakan bahan organik dari mukopolisakarida dan terdiri atas mukoprotein, tropokolagen dan tropoelastin (Fitton-Jackson, 1964). Mc Intosh (1961) melaporkan bahwa 8 - 12 % nitrogen muskuler diantaranya berasal dari mukoprotein. Ada tiga serat yang menyusun jaringan ikat : 1) kolagen, terdiri dari gabungan dari sejumlah serabut-serabut dengan diameter 0,3 - 0,5 µm dan tebalnya 1 - 12 µm, 2) retikulin, merupakan mukoprotein dimana bahan dan ultrastrukturnya serupa dengan kolagen, sekalipun serabut-serabut retikulin lebih pendek dan strukturnya lebih halus dibandingkan dengan kolagen (Asghar dan Pearson, 1980), 3) elastin, serat-seratnya bercabang-cabang dan jumlahnya bisa mencapai 1,9 - 37 % dari jaringan ikat otot sapi. Pada beberapa otot sapi, seperti Semitendinosus, Latissimus dorsi dan Tensor fascia latae, menyajikan elastin lebih dari 10 % dari jaringan ikat (Bendall, 1967) Dari ketiga serat yang menyusun jaringan ikat, kolagen merupakan serat yang paling dominan (95 %) dan paling besar peranannya dalam menentukan kekerasan/kealotan pada otot. Dengan demikian bahasan tentang jaringan ikat lebih banyak ditujukan pada kolagen.

    Kolagen.

    Kolagen merupakan protein dengan nilai gizi yang rendah, ditandai dengan tidak adanya asam amino esensial didalam komposisi asam aminonya. Dengan menggunakan sinar X terlihat bahwa setiap molekul kolagen berukuran panjang 300 nm dengan diameter 1,4 nm (Glanville dan Kuhn, 1979; Aberle dan Mills, 1983) dengan berat molekul 300.000 dalton (Etherington dan Sims, 1981). Kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida helikoidal (saling melilit) yang disebut rantai alpha. Ketiga rantai ini saling melilit membentuk suatu molekul yang keras dan kompak (Bailey, 1972) melalui perantaraan ikatan hidrogen intramolekul (Bailey dan Robins, 1976). Setiap rantai alpha tersusun atas suatu rangkaian asam amino sebanyak 1050. Rangkaian ini secara karakteristik tersusun atas Gly-X-Y-Gly-X-Y-Gly-X-Y atau (Gly-X-Y)n, dimana setiap tiga asam amino terdapat satu asam amino glisin. Secara teoritis, X dan Y merupakan asama amino prolin dan hidroksiprolin dan keduanya berperan dalam menstabilkan triple helice (Glanville dan Kuhn, 1979). Stabilitas kolagen terhadap panas disebabkan tidak hanya oleh komposisi asam amino tetapi juga posisi asam amino pada X dan Y. Sakakibara dkk. (1973) memperlihatkan bahwa kolagen dengan rangkaian asam amino dalam bentuk (Gly-Pro-Hyp)n lebih stabil terhadap panas dibanding jika dalam bentuk (Gly-Pro-Pro)n.

    Sintesa kolagen terjadi didalam sel fibroblast (Gambar 7), tetapi juga dapat berlangsung dalam sel epitelium dan epidermis. Sintesa kolagen terjadi didalam sel melalui traduksi genetik didalam ribosom. Satu molekul RNA messenger membentuk rangkaian asam amino dari polipeptida berkat traduksi antara nukleotida dan asam amino. Setiap rantai polipeptida atau rantai pro-alpha disintesa dari suatu ribosom yang dimulai pada bagian terminal amino (N). Gabungan dari tiga rantai pro-alpha membentuk triple helice, merupakan satu molekul prokolagen. Setelah pembentukan triple helice, molekul prokolagen dilepaskan dari dalam sel. Konversi prokolagen menjadi kolagen terjadi berkat enzim spesifik yakni prokolagen peptidase dan dengan bantuan kofaktor Ca2+ akan memotong perpanjangan peptida atau propeptida sehingga terbentuk kolagen (Dutson, 1976).


 


 


 

a. Molekul prokolagen dalam sel


 


 


 


 


 

b. Molekul kolagen setelah pemotongan propeptida


 


 


 


 


Gambar 7. Biosintesa kolagen (Prockop dkk. 1979)


 

Struktur triple helice dengan ikatan hidrogen menjadi stabil karena adanya 4-hidroksiprolin, dimana yang terakhir ini terbentuk didalam fibroblast akibat hidroksilasi dari prolin. Sementara itu hidroksilasi dari lisin yang juga terjadi didalam fibroblast menghasilkan 5-hidroksilisin yang mempunyai peranan penting dalam ikatan intermolekul (Miller, 1982).

Ikatan silang pada molekul kolagen

Molekul kolagen saling bergabung secara transversal melalui ikatan kovalen. Ikatan ini terlihat sedemikian rupa sehingga ektremitas dari satu molekul terletak pada seperempat bagian dari molekul tetangganya dan berulang secara beraturan (Gambar 8; Miller, 1982). Ikatan transversal ini (cross-link) bertujuan untuk menghambat pergesekan antar molekul dalam serat kolagen (Bailey, 1972). Ikatan ini menjadi indikator dari tingkat retikulasi kolagen dan ada dua macam ikatan kimiawi : 1) ikatan intramolekuler; merupakan ikatan kimiawi karena adanya kondensasi dari aldol tak jenuh pada bagian terminal N dari telopeptida (Bailey dan Robins, 1976), 2) ikatan intermolekuler; terjadi karena kondensasi antara lisin (hidroksilisin) dengan allisin (hidroksiallisin) membentuk ikatan aldimin (C=N). Ikatan dapat menjadi sangat stabil, seperti hydroxylysino-5-oxo-norleucine, atau ikatan yang sangat mudah dirusak oleh perubahan-perubahan pH atau suhu dan melalui serangan dari bahan-bahan pendenaturasi, seperti dehydro-hydroxylysinonorleucine (Bailey, 1969 ; McClain, 1976). Ikatan labil banyak ditemukan pada ternak muda, sedang ikatan stabil dominan pada ternak tua, dimana hal ini dapat menjelaskan resistensi yang kuat dari serat kolagen pada ternak tua. Dengan demikian jenis ikatan silang pada kolagen merupakan salah satu bagian yang penting dipertimbangkan dalam penilaian sifat-sifat mekanik pada daging.

Hubungan antara umur dengan ikatan kimiawi dari retikulasi kolagen

Penuaan ternak mengakibatkan beberapa perubahan-perubahan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif pada strukturasi serat kolagen. Sejumlah penelitian diperlihatkan oleh beberapa peneliti ; Allain dkk. (1978) dan Bailey (1979) memperlihatkan, hasil yang berkaitan dengan umur : - proporsi ikatan stabil tipe ceto-imine pada kulit dan fetus tikus yang banyak, - proporsi yang penting dari ikatan labil tipe aldimin pada ternak muda, dan - peningkatan ikatan stabil yang tidak tereduksi (non reductible) pada ternak tua (Gambar 9).

Pada umumnya, proporsi ikatan silang yang tereduksi meningkat persis setelah kelahiran. Ini disebabkan karena kecepatan sintesa kolagen (Light dan Bailey, 1979). Kemudian ikatan reduktibel menurun dengan bertambahnya umur (oksidasi ikatan kimiawi) (McClain, 1976) untuk membentuk ikatan stabil (Light dan Bailey, 1979). Penurunan proporsi ikatan reduktibel dapat mencapai 10 % dari kondisi awal pada jaringan ikat dari ternak muda (Light dan Bailey, 1979). Penurunan ini sangat cepat pada kolagen intramuskuler dibandingkan dengan kolagen pada tendon sapi (Shimokomaki dkk., 1972).


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 8. Molekul kolagen dan posisi ikatan silang


 


 

Gambar 9. Hubungan antara umur dengan stabilitas

ikatan silang (cross-link)


 

  1. Tipe Serat Muskuler

Serat muskuler diklasifikasikan berdasarkan atas aktivitas metabolik dan kontraktil.

Aktivitas Metabolik

Metabolisme energetik jaringan muskular utamanya diorientasikan untuk produksi energi, yang dimungkinkan oleh karena adanya alat kontraktil. Dikarakterisasi melalui peranan yang mendalam dari karbohidrat, sekalipun otot juga menggunakan asam lemak. Pada periode aktivitas kontraktil, glukosa merupakan sumber yang utama. Degradasi lengkap secara oksidatif dari glukosa ini memungkinkan untuk pembentukan ATP yang efektif.

Berdasarkan bahwa serat-serat muskuler memiliki cara oksidatif pada saat katabolisme glukosa atau melalui cara anaerobik (pembentukan asam laktat), kita membedakan serat-serat menjadi serat merah (kaya akan mitokhondria, mioglobin, dan lipid) dan serat
putih (miskin akan mitokhondria, mioglobin dan lipid, tetapi kaya akan glikogen).

Aktivitas Kontraktil

Berdasarkan atas kecepatan kontraksi, maka diantara serat-serat dapat dibedakan atas serat dengan kecepatan kontraksi cepat dan serat dengan kecepatan kontraksi lambat. Perbedaan kedua jenis kecepatan kontraksi ini ditentukan oleh perbedaan pada tingkat peralatan pada kepala molekul miosin.

Secara umum, berdasarkan studi histokimia dapat diperlihatkan bahwa serat-serat tipe metabolik merah dapat memiliki suatu sistim kontraktil dengan tipe lambat atau cepat. Sebaliknya serat-serat tipe metabolik putih nampaknya hanya dapat memiliki sistim kontraktil tipe cepat.

  1. Variabilitas Dari Penyusun Otot

Pada ternak yang sama dari otot yang berbeda terdapat variabilitas tipe serat muskuler. Variasi juga terjadi pada otot yang sama dari jenis ternak yang berbeda terutama pada spesies yang berbeda.

Perbedaan serat muskuler berdasarkan tipe metabolik dan kontraktilnya, merupakan penyebab utama dari heterogenisitas antara otot. Penyebab kedua dari heterogenisitas ini terjadi pada tingkat penggabungan serat sebagai penyusun otot, yakni pada tingkat jaringan ikat, antara otot menyajikan variasi kuantitatif dan kualitatif demikian juga perbedaan penyebaran jaringan ikat tersebut.

Pada spesies yang sama dan juga pada tipe otot yang sama, umur menjadi faktor yang penting dari variasi kandungan mioglobin dan lipid, demikian juga dengan struktur kolagen.

  1. Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indicator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang struktur otot.

BAB III. PENUTUP

Telah dibahas struktur otot yang terdiri atas serat muskuler dan jaringan ikat. Aktivitas serat muskuler ada dua yakni aktivitas metabolik dan aktivitas kontraktil dimana variabilitas tipe serat dapat terjadi pada ternak yang sama dari jenis otot yang berbeda atau pada otot yang sama dari jenis ternak yang berbed khususnya pada spesies yang berbeda. Variasi ini pada umumnya disebabkan oleh kedua komponen penyusun otot tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
  4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
  5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey