Sabtu, 05 April 2008

Perubahan Nilai Gizi Daging selama Maturasi ("Aging") pada Sapi Bali Penggemukan dan Tanpa Penggemukan

oleh

Effendi Abustam
Pusat Studi Teknologi dan Pengembangan Peternakan
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana peranan "aging" terhadap nilai gizi daging sapi Bali yang telah mengalami penggemukan dan yang masih dipelihara secara tradision­al.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Unhas dan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Ujung Pandang. Materi yang digunakan sebanyak 14 ekor sapi Bali jantan umur dua tahun dan berasal dari Kabupaten Bone yang terdiri atas 7 ekor sapi penggemukan dan 7 ekor tanpa penggemu­kan. Tiga jenis otot : Longissimus dorsi (LD), Semitendinosus (ST) dan Pectoralis profundus (PP) telah diseksi pada karkas sebelah kanan setelah proses rigor mortis berakhir. Ketiga jenis otot tersebut kemudian disimpan pada suhu + 2oC selama 12 hari dengan selang waktu setiap 3 hari dilakukan analisa proksimasi protein dan lemak.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam 3 faktor dengan rancangan dasar acak lengkap : faktor 1 sistem pemeliharaan, faktor 2 jenis otot dan faktor 3 lama "aging" (2 x 3 x 5).

Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa aging ber­peranan dalam perbaikan nilai gizi daging sapi Bali yakni terjadi peningkatan kadar protein setelah "aging" enam hari dan kadar lemak berfluktuasi selama proses "aging".

Sistem pemeliharaan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) style=""> oleh jenis otot.

Melihat tingkat perubahan nilai gizi maka penerapan aging pada daging sapi Bali sebaiknya dilakukan sampai pada hari keenam dan atau minimal tiga hari.

ABSTRACT

The objective of the study was to find out the role of aging on meat quality especially nutrient value from Bali cattle reared by a traditional system and feedlot fattening system.

This experiment was conducted at Laboratory of Animal Pro­duct Technology, Faculty of Animal Husbandry Hasanuddin Universi­ty and at Slaughter House in Ujung Pandang. Materials that used are 14 heads Bali cattle with male sex from Bone regency divided into 2 groups : 7 heads from feedlot fattening and 7 heads from rural condition, that were slaughtered at 2 years old. Three type of muscle namely Longissimus dorsi (LD), Semitendinosus (ST) and Pectoralis profundus (PP) were dissected from the right of car­cass after the installation of rigor mortis. These muscles then were aged in refrigerator (+2oC) for a period of 12 days with 3 days interval for proximate analysis: protein and fat.

Data were analyzed by completely randomized design with 2 x 3 x 5 factorial pattern (rearing system, type of muscles, and period of aging).

This experiment was shown that aging play a role on meat quality from Bali cattle: the increasing of meat protein after 6 days aging and the fluctuation of fat during period of aging.

The protein content was very significantly (P<0.01) st="on">Bali cattle, it is recommended for 6 days aging or 3 days minimum.

PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya kecenderungan usaha penggemukan sapi Bali di Sulawesi Selatan dengan maksud untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang baik.
Sampai seberapa jauh kualitas daging sapi Bali yang digemuk­kan jika dibanding dengan sapi tanpa penggemukan sangat menarik untuk disimak lebih jauh. Usaha‑usaha perbaikan produksi tanpa diimbangi dengan usaha perbaikan pasca panen tidak akan besar artinya pada kualitas daging yang dihasilkan. Di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan mata rantai rigor mortis (kejang mayat) dan maturasi daging ("aging") sebelum dipasarkan tidak dipraktekan secara kenyataan, kalaupun ada paling rigor mortis.
Untuk memenuhi kebutuhan akan daging berkualitas bagi konsu­men tertentu di kota‑kota besar yang selama ini dipenuhi lewat import, maka mata rantai petik ‑ olah ‑ jual yang dapat di ja­barkan menjadi potong ‑ rigor mortis ‑ "aging" (maturasi) ‑ jual, perlu diaplikasikan.
"Aging" atau pematangan daging sudah lama dikenal dengan hasil perbaikan keempukan daging. Selama proses ini, daging disimpan pada suhu rendah (1 ‑ 5o C) untuk jangka waktu beberapa hari (Pearson, 1986). Enzim endogen dalam otot seperti CAF dan cathepsin D dan B akan berperanan dalam mendegradasi protein myofibriler (Bird dkk, 1980). Dayton dkk (1976) menyatakan bahwa enzim CAF dapat mendegradasi garis Z pada struktur myofibril daging dengan cara seperti apa yang terlihat pada daging yang telah mengalami "aging", hal mana dapat dipertimbangkan sebagai perbaikan keempukan daging.
Perbaikan keempukan yang terjadi selama proses maturasi tergantung pada suhu dan lama penyimpanan. Pada suhu + 1o C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952). Penyimpanan selama 35 hari, memper­lihatkan perbaikan keempukan sebanyak 28,2 persen dan 22 persen masing‑masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 persen dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941 dalam Dumont, 1952). Moran dan Smith (1929) dalam Dumont (1952) menyatakan bahwa peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4o C sebesar 10 persen dan meningkat menjadi 31 persen sesudah penyimpanan 17 hari. Keadaan ini menjelaskan bahwa suhu akan mempercepat fenomena keempukan, seperti yang diperlihatkan oleh Ewell (1940) dalam Dumont (1952), peningkatan keempukan akan dicapai dalam 3 hari pada suhu 15,6o C dan dalam 9 minggu pada suhu + 1,1o C.
Usaha penggemukan sapi Bali tanpa diikuti proses "aging" (maturasi) ditingkat pasca panen akan sulit untuk menghasilkan daging berkualitas, khususnya daging yang empuk. Berapa lama "aging" yang optimal yang dibutuhkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang optimum khususnya keempukan tanpa merubah nilai gizi daging tersebut menjadi suatu permasalahan yang perlu dicari pemecahannya. Demikian pula apakah pola "aging" yang diterapkan pada sapi Bali yang digemukkan akan sama pada sapi Bali tanpa penggemukan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sampai seberapa jauh peranan "aging" tersebut pada sapi Bali yang dipelihara oleh rakyat tanpa digemukkan dan sapi Bali yang telah digemukkan terhadap kualitas dagingnya khususnya nilai gizi.

MATERI DAN METODA

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peter‑ nakan Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini menggunakan 14 ekor sapi Bali jantan umur dua tahun, terbagi atas tujuh ekor tanpa penggemukan yang dipelihara oleh petani‑ternak secara tradisional dan tujuh ekor hasil peng­gemukan. Ternak tersebut berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Bone.
Sampel diperoleh dari tiga jenis otot : otot Longissimus dorsi, otot Semitendinosus dan otot Pectoralis profundus, masing‑masing secara berturut‑turut mewakili otot yang empuk, sedang keempukannya dan keras (Abustam, 1987). Ketiga jenis otot terse­but diseksi dari bagian‑bagian karkas, masing‑masing secara berurutan pada bagian cube roll, silverside dan brisket (Anony­mous, 1979) setelah rigor mortis berakhir. Lama "aging" yang diterapkan 12 hari yang dibagi atas lima perlakuan masing‑masing 0 hari, 3 hari, 6 hari, 9 hari dan 12 hari pada suhu pendinginan ( 2oC). Pada setiap perlakuan dilaksa­nakan analisis proksimasi protein dan lemak berdasarkan metoda AOAC (1984).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2 x 3 x 5 :
Faktor ke 1 : Sistem pemeliharaan sapi terdiri atas 2 level: penggemukan dan tanpa penggemukan
Faktor ke 2 : Jenis otot terdiri atas 3 level : Longissimus dorsi, Semitendinosus, dan Pectoralis profundus.
Faktor ke 3 : Lama "aging" terdiri atas 5 level : 0, 3, 6, 9, dan 12 hari.
Data diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam pola faktorial (3 faktor) berdasarkan Steel dan Torrie (1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perubahan Protein Selama Aging

Tabel 1 memperlihatkan kandungan protein daging sapi Bali jantan penggemukan dan
tanpa penggemukan berdasarkan lama aging.

Analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa sapi penggemukan kandungan proteinnya sangat nyata (P<0,01)>

Tabel 1. Perubahan Kandungan Protein Dari Tiga Jenis Otot Berdasarkan Lama Aging
Pada Sapi Bali Jantan Penggemukan Dan Tanpa Penggemukan


Tingginya kandungan protein otot pada sapi penggemukan menandakan bahwa terdapat pengaruh ransum terhadap protein otot, dimana sapi penggemukan pada umumnya mendapatkan makanan penguat dengan kandungan protein yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pakan yang dikonsumsi oleh sapi tanpa penggemukan. Akibatnya kandungan protein otot pada sapi‑sapi penggemukan akan lebih baik daripada sapi‑sapi tanpa penggemukan.
2. Perubahan Lemak Selama Aging
Kandungan lemak otot selama aging terlihat pada tabel 2.
Sistem pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap kan­dungan lemak daging, sekalipun kandungan lemak daging sapi peng­gemukan sedikit lebih tinggi (0,06 unit) dibandingkan dengan sapi tanpa penggemukan. Hal ini menandakan bahwa ransum penggemukan yang digunakan belum cukup untuk memberikan perlemakan yang lebih dibandingkan dengan sapi tanpa penggemukan.
Jenis otot berpengaruh sangat nyata (P<0,01) style=""> dengan sistem pemeliharaan memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)>

Tabel 2. Kandungan Lemak Tiga Jenis Otot Selama Aging Pada Sapi Bali Jantan
Penggemukan Dan Tanpa Penggemukan

KESIMPULAN

1. Maturasi meningkatkan kadar protein daging sapi Bali jantan terutama setelah hari keenam sementara kadar lemak berfluktuasi selama maturasi.
2. Penggemukan sapi Bali jantan meningkatan kadar protein daging dibandingkan dengan tanpa penggemukan .
3. Kadar lemak daging sapi Bali jantan berbeda diantara jenis otot yang digunakan dalam penelitian ini
4. Maturasi sebaiknya dilakukan selama enam hari dan minimal tiga hari berdasarkan atas tingkat perubahan nilai gizi daging.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abustam, E. 1987. Contribution A l'etude Des Caracterisations Des Viandes Bovines Par Les Proprietes Des Tissus Conjonctifs. These Docteur Ingenieur. Universite Blaise Pascal, France.

2. Anonymous, 1979. Hand Book of Australian Meat. 3rd Ed. AMLC Press, Sydney.

3. Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 14th Ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia.

4. Bird, J.W.C., Carter J.H., Triemer, R.E., Brooks, R.M., and Spanier, A.M. 1980. Proteinases in cardiac and skeletal muscle. Fed. Proc. Fed. Am. Soc.Exp. Biol. 39, 20.

5. Creuzot, H., Dumont, B.L. 1983. Proposition d'un Nouveau Dispositif Destine aux Mesures des Forces de Cisaille­ment des Viandes. Viande et Produits Carnes, Numero Special, pp. 87.

6. Dayton, W.R., Reville, W.J., Goll, D.E., and Storemer, M.H. 1976. A Ca2+‑activated protease possibly involved in myofibrillar protein turnover. Partial characterization of the purified protein. Biochemistry 15, 2159.

7. Dumont, B.L. 1952. La Tendrete De La Viande. Annales de Zootechnie, III, 1 ‑ 25. Paris.

8. Hamm, R. 1986. Functional properties of the myofibrillar system and their measurements. In : Muscle as Food (Ed. : Bechtel, P.J.). Academic Press, Inc. Orlando, Florida.

9. Pearson, A.M. 1986. Physical and Biochemical Changes Occur­ring in Muscle during Storage and Preservation. In "Muscles as Food" (P.J. Bechtel, ed.). p. 103 ‑ 134, Academic Press, Inc.

10. Steel, R.G., and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. Mc Graw Hill Book Co, Inc., New York.

Tidak ada komentar: