Minggu, 01 Maret 2009

Penyediaan Daging

MODUL I

JUDUL: PENGERTIAN DAN MEKANISME PENYEDIAAN DAGING


BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang


Penyediaan daging bagi konsumen merupakan salah satu kegiatan penerapan industri pada hasil ternak yang disebut sebagai agroindustri hasil ternak. Agroindustri hasil ternak khususnya pada komoditas daging dimaksudkan untuk peningkatan mutu produk daging segar maupun olahannya yang pada akhirnya akan memberikan nilai jual yang lebih tinggi. Harga jual yang lebih tinggi tiada lain adalah konsekuensi dari penambahan biaya produksi yang timbul akibat penerapan teknologi dalam proses memproduksi produk tersebut. Dengan demikian kegiatan ini pada umumnya dilakukan ditingkat pascamerta ternak diawali pada tingkat rumah pemotongan hewan (RPH) sampai pada tingkat industri baik skala rumah tangga maupun pada skala komersial. Penanganan pascapanen dan penerapan teknologi pengawetan dan pengolahan daging merupakan kegiatan agroindustri yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan ditingkat budidaya dari suatu sistem agribsinis peternakan sapi potong.

Daging sebagai salah satu bahan pangan asal hewan, kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh penanganan ternak semasa hidupnya (sebelum panen) tetapi juga tak kalah pentingnya adalah penanganannya setelah panen (pascapanen). Pemberian pakan berkualitas tinggi pada fase pertumbuhan dan pada saat fase penggemukan semasa hidupnya, tidak akan memberikan kualitas daging yang optimal setelah ternak disembelih jika tidak diikuti dengan penanganan pascapanen yang tepat.

Prosedur pemotongan yang sesuai diikuti dengan pengkarkasan yang tepat dan dilanjutkan dengan "aging" (maturasi) yang layak dengan waktu yang optimal merupakan salah satu rangkaian yang seharusnya tak terpisahkan dalam penanganan pascapanen. Pascapanen yang tepat sesuai dengan yang seharusnya pada pengadaan daging segar dan produk olahannya akan meningkatkan mutu produk tersebut, sekaligus nilai jual yang lebih tinggi.

Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam penanganan pascapanen produk-produk hasil ternak untuk peningkatan mutunya yakni melalui pengawetan dan pengolahan. Dengan pertimbangan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging pascamerta ternak (post mortem) ditinjau dari penggunaan suhu rendah sejak ternak disembelih, dikaitkan dengan mutu yang dihasilkan maka pada materi ini akan membahas teknologi pengawetan dan pengolahan yang dapat dilakukan dalam rangkaian penyediaan daging dan produk olahannya, dikaitkan dengan peningkatan nilai tambah dan pendapatan pada akhirnya.

  1. Ruang Lingkup Isi

Modul ini membahas tentang:

  1. Definisi daging: menjelaskan perbedaan otot sebagai energi mekanis dan otot sebagai energi kimiawi
  2. Mekanisme penyediaan daging: sumber dan proses transformasi ternak hidup menjadi daging serta sirkuit pengadaan daging bagi konsumen
  3. Kaitan Modul: merupakan modul pertama dari tujuh modul yang dibahas dalam Ilmu Daging
  4. Sasaran Pembelajaran Modul:

Setelah mengikuti modul ini mahasiswa diharapkan mampu untuk menjelaskan definisi daging dan mekanisme penyediaan daging asal ternak khususnya daging merah.

BAB II PEMBAHASAN

  1. Pengertian Daging

Untuk menjelaskan definisi daging maka beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan yakni: otot, energi mekanis, energi kimiawi, perubahan biokimia, perubahan biofisik. rigor mortis

Definisi daging: adalah kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai daging (pangan hewani).

Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak dan setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati dan otot telah berubah menjadi daging. Terjadi proses konversi dari otot menjadi daging (Modul 2), sehingga sesaat setelah ternak disembelih seharusnya kata otot sebagai penyusun tubuh ternak masih digunakan sampai otot telah berubah menjadi daging ditandai dengan timbulnya kekakuan (kejang mayat) dan berangsur-angsur mengalami pengempukan pasacakekakuan tersebut.

Otot semasa hidup ternak dikenal sebagai alat pergerakan tubuh ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi, sehingga disebut sebagai energi mekanis dan karena tersusun dari unsur kimia maka disebut pula sebagai energi kimiawi. Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi oksigen dan otot tidak lagi berkontraksi maka otot dapat disebut sebagai energi kimiawi (pangan hewani)

Perubahan biokimia yang terjadi diawali dengan proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat dan dilanjutkan dengan proses maturasi (aging) ditandai dengan pengempukan pada otot sebagai akibat kerja enzim pencerna protein (Modul 2). Proses glikolisis pascamerta ternak disebut pula sebagai rigor mortis atau rigor (kekakuan) pascamerta.

Perubahan biofisik yang terjadi pada otot pascamerta adalah kehilangan ekstensibilitas otot pada saat terjadi kekakuan dan pengempukan yang terjadi pascakekakuan

2. Mekanisme Penyediaan Daging

Berdasarkan atas sumbernya maka dapat dibedakan daging warna merah (red meat) yang berasal dari ternak besar (sapi, kerbau) atau ternak kecil (kambing, domba) dan daging putih yang lebih sering disebut sebagai poultry meat (ayam, itik dan unggas lainnya). Pemberian nama sebagai daging merah atau daging putih (poultry meat) berdasarkan atas ratio antara serat merah dengan serat putih yang menyusun otot tersebut.; otot yang mengandung lebih banyak serat merah akan disebut sebagai daging merah.

Dalam penyediaan daging, dari sumbernya, bagi kebutuhan konsumen dikenal melalui tiga fase perubahan /transformasi (Gambar 1) :

  1. Transformasi pertama meliputi proses perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian bukan karkas (by product atau offal).
  2. Transformasi kedua, merupakan proses pemotongan (cutting) bagian-bagian karkas menjadi whole dan retail karkas untuk mendapatkan daging dan bagian-bagian lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan lain-lain.
  3. Transformasi ketiga, merupakan proses pengolahan lebih lanjut dari bahan baku daging yang diperoleh pada transformasi kedua menjadi suatu produk akhir berupa daging olahan dalam berbagai macam ragam.

Pemotongan merupakan suatu tahap yang penting dalam penyediaan daging tersebut. Berdasarkan atas lokasi produsen dan konsumen dalam penyediaan daging, dapat dibedakan atas sirkuit hidup dan sirkuit mati. Pada sirkuit hidup (sering juga disebut sirkuit rural atau sirkuit kota-kota besar), ternak diangkut dan dipotong untuk digunakan didaerah konsumen. Sedang pada sirkuit mati, ternak dipotong didaerah produsen kemudian karkas dan atau dagingnya diangkut menuju kedaerah konsumen (Lemaire, 1982).

Gambar 1. Proses penyediaan daging; dari seekor ternak menjadi daging

Keuntungan dalam bentuk nilai tambah dari produk samping dari seekor ternak (kulit, jeroan, tulang, darah dsbnya) akan diperoleh bagi daerah produsen pada sirkuit mati, selain itu resiko kehilangan berat badan pada sirkuit hidup tidak terjadi atau menjadi minimal pada sirkuit mati. Bagi ternak-ternak yang tidak memenuhi berat standar pengiriman keluar pulau bisa teratasi melalui sirkuit mati. Namun peraturan daerah tentang pelarangan pengiriman daging antar kabupaten akan menjadi penghabat dalam sirkuit mati. Untuk itu perlu peninjauan kembali peraturan tersebut, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah dan memasuki pasar bebas. Penerapan sirkuit mati dalam penyediaan daging bagi daerah konsumen, selain memberi nilai tambah bagi daerah produsen juga sangat diharapkan akan memberi penghasilan yang lebih baik bagi para petani/peternak.

1. Transformasi Pertama

Pada tahap pertama dari rangkaian penyediaan daging ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

  1. Kondisi ternak sebelum pemotongan
  2. Prosedur pemotongan

Kondisi Ternak Sebelum Pemotongan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum ternak dipotong :

  1. Kebersihan tubuh ternak

    Pertimbangan utama adalah kebersihan kulit, sebab kulit merupakan sumber utama bagi kontaminasi bakteri pada karkas selama proses pemotongan dan pengeluaran isi dalam ternak. Kulit termasuk bulu-bulu merupakan pembawa bermacam mikroorganisme khususnya Escherichia coli, Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus dan Streptocoques fecaux yang bisa berasal dari bahan feses maupun dari tanah dan air (Rosset, 1982). Kontaminasi bakteri pada karkas dapat terjadi melalui bantuan udara dan kondensasi akibat perbedaan antar temperatur ternak dengan temperatur ruangan pemotongan pada saat pengulitan ternak (Fournaud et al., 1978). Kontaminasi juga dapat terjadi akibat kontak antara tangan pekerja dengan bulu-bulu pada kulit dengan karkas (Fournaud et al., 1978).

  2. Kesehatan dan sanitasi ternak

    Produksi daging yang higinis harus dimulai melalui pencegahan penyakit selama pemeliharaan dan penggemukan ternak. Demikian pula pengawasan mikrobiologi daging harus dilakukan dengan sangat serius pada semua tingkat/keadaan dimana terdapat kecurigaan akan penyakit ternak yang bisa menular kepada manusia.

    Ternak juga merupakan sumber utama salmonella dalam saluran pencernaannya, untuk itu maka pencegahan infeksi terhadap salmonella harus dimulai melalui kontrol pada pada makanan ternak sebagai asal dari kontaminasi tersebut (Hess, 1973).

  3. Keadaan Fisiologis
    1. Pengaruh pakan sebelum pemotongan

      Komposisi ransum memperlihatkan pengaruh terhadap :

  • mikroflora pada saluran pencernaan ; pemberian ransum basal terdiri dari biji-bijian atau gandum yang diperkaya vitamin dan mineral selama beberapa minggu akan menurunkan jumlah bakteri Coli - aerogen dan Enterobacteri pada usus halus (Barnes, 1979).
  • mikroflora pada karkas sapi (bakteri psychotropes dan mesophiles). Penelitian Thomas et al. (1977) menggunakan empat macam perlakuan pakan pada sapi: 1) Hijauan, 2) 80 % konsentrat + 20 % hijauan selama 49 hari, 3) 80 % konsentrat + 20 % hijauan selama 98 hari, dan 4) hijauan. Setelah 46 jam pascamerta, ternak-ternak yang mengkonsumsi perlakuan keempat (hijauan) menghasilkan karkas dengan kandungan bakteri psychotrophes, khususnya Pseudomonas, nyata lebih rendah dibandingkan dengan karkas dari ternak yang mengkonsumsi perlakuan pakan lainnya. Pada waktu pascamerta yang sama, kandungan bakteri mesophiles adalah nyata berbeda diantara keempat perlakuan dengan susunan sebagai berikut

    perlakuan 1 > perlakuan 2 > perlakuan 3 > perlakuan 4.

  1. Pengaruh pengangkutan sebelum pemotongan

    Pengangkutan ternak ke rumah potong hewan (RPH) mengakibatkan sejumlah agresi psikik dan fisik: luka-luka akibat pukulan tongkat atau tendangan kaki diantara mereka, luka yang diakibatkan gesekan pada lantai kendaraan, perkelahian antara mereka pada umur dan jenis kelamin yang berbeda, kesulitan metabolisme sirkulasi, terutama bila mereka memperoleh pakan yang berarti sebelum pengangkutan. Sejumlah agresi ini akan memberikan konsekuensi terhadap kualitas saniter pada daging. Akibatnya sifat-sifat bakteriside pada darah hanya terjadi pada ternak-ternak yang dipotong dalam kondisi kesehatan yang sempurna selama beberapa jam setelah ternak mati. Namun ternak yang disembelih dalam keadaan darurat, karena luka atau kecapaian, mengakibatkan pengeluaran darah yang sangat sering tidak sempurna (Schulze et al., 1972).

    Stres yang sangat berarti selama pengangkutan akan meningkatkan infeksi salmonella pada ternak khususnya pada babi (Tsai et al., 1971) dan pada kuda (Anderson dan Lee, 1976). Ditemukan salmonella yang lebih banyak pada saluran pencernaan babi yang diangkut ke rumah potong hewan dibandingkan dengan babi yang tetap dipeternakan (Tsai et al., 1971).

  2. Pengaruh waktu istirahat sebelum pemotongan

    Kontaminasi pada karkas dapat terjadi melalui tempat istirahat ternak sebelum pemotongan . Untuk itu tempat istirahat tersebut perlu secara teratur dibersihkan dan didesinfektan.

    Tingkat kontaminasi meningkat dengan meningkatnya jumlah salmonella pada tanah dan waktu istirahat yang lebih lama. Kontaminasi yang rendah pada tempat istirahat (1 Salmonella/gram tanah) mengakibatkan kontaminasi salmonella pada 40 - 60 % ternak (dalam feses) sesudah tujuh hari istirahat. Sedang pada kontaminasi tanah yang tinggi (105 Salmonella/gram tanah) mengakibatkan kontaminasi pada 90 - 100 % ternak yang dimulai pada hari ke 2 dan ke 3 istirahat dan seterusnya akan semakin meningkat jumlahnya (Grau dan Smith, 1974).

Prosedur Pemotongan

Prosedur pemotongan meliputi teknik pekerjaan secara berurutan yang dilakukan dalam rangka perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian-bagian yang bukan karkas dimana kesemuanya itu berlangsung di rumah pemotongan hewan (RPH). Untuk itu pertimbangan jumlah ternak yang dipotong per hari dan perlakuan-perlakuan setelah pemotongan perlu dipertimbangkan. Untuk menghasilkan daging dengan kualitas yang tinggi mengharuskan untuk ditangani dengan prosedur pemotongan yang benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah; RPH yang dilengkapi dengan teknik pendinginan yang tepat dan perlengkapan-perlengkapan lainnya untuk memudahkan pengkarkasan tersebut.

Kondisi ternak sebelum dipotong seperti dikemukakan diatas akan sangat besar peranannya terhadap kualitas akhir dari karkas.

Secara berurutan dalam pengkarkasan ternak sapi, teknik yang dilakukan sebagai berikut (beberapa variasi bisa terjadi antara satu negara dengan negara lainnya) :

  1. Persiapan sebelum pemotongan

    Dalam hal ini meminimalkan terjadinya luka memar dan menghindari terjadinya ketegangan sejak ternak diangkut dari peternakan sampai pada saat menurunkan ternak di tempat penampungan atau tempat istirahat di RPH sebelum pemotongan dilaksanakan. Di beberapa negara waktu istirahat berlangsung selama 24 jam, dimaksudkan selain untuk istirahat juga untuk mengosongkan saluran pencernaan. Namun hal ini bisa mengakibatkan terjadinya kejadian dark cutting meat dan luka memar (Lister et al., 1981).

    Hasil penelitian Abustam dkk. (1991) memperlihatkan bahwa istirahat diatas delapan jam dan tidak melebihi 12 jam merupakan kondisi yang baik untuk memulihkan kelelahan ternak yang timbul selama pengangkutan. Istirahat diatas 12 jam memperlihatkan kecenderungan pH akhir meningkat kembali (dark cutting meat), ini disebabkan karena selama itu ternak tidak mendapat pakan, akibatnya ternak kembali mengalami stres akibat kelaparan. Wythes dkk. (1984) mengemukakan bahwa ternak yang diistirahatkan di RPH setelah perjalanan jauh, terutama jika istirahat lebih dari 24 jam, perlu diberikan pakan berupa rumput atau hay berkualitas tinggi dan air minum untuk menurunkan pH akhir otot.

    Ternak yang kotor harus dibersihkan sebelum dipotong. Juga pada hari sebelum pemotongan, ternak-ternak harus diperiksa kesehatannya. Jika terdapat ternak yang memperlihatkan gejala-gejala sakit dan juga yang diduga terkontaminasi bakteri pada area peristirahatan, harus ditangani secara terpisah dengan ternak-ternak yang dinilai patut untuk konsuimsi manusia.

  2. Ternak tidak berdaya (Stunning or Immobilization)

    Beberapa negara meperlakukan keadaan ternak tidak berdaya sebelum pemotongan. Di USA, ternak-ternak sapi dibuat tidak berdaya secara mekanik melalui pusat kesadaran ternak dengan menggunakan alat tajam yang ditusukkan pada dahi ternak pada titik X yang secara imaginasi terletak pada garis pertemuan yang ditarik antara dari mata kanan ke tanduk kiri dengan garis dari mata kiri ketanduk kanan (Gambar 2). Metoda stunning lainnya adalah menggunakan bolt atau pin yan akan menusuk otak pada lokasi dahi ternak sapi tersebut. Stunning secara elektrik juga banyak digunakan dan menjadi pertimbangan untuk masa kedepan.

    Di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia dimana upah tenaga kerja tidak menjadi masalah, maka cara pembantingan umumnya digunakan untuk mebuat ternak sapi tidak berdaya. Namun teknik semacam ini akian memberikan dampak yang negatif terhadap kualitas daging; memar dan kejadian dark cutting meat meningkat mengakibatkan rendahnya kualitas daging.

  3. Penyembelihan/pengeluaran darah (bleeding)

    Ternak dalam keadaan tidak sadar/tidak berdaya, secepatnya disembelih pada daerah kerongkongan persis dibelakang rahang sedalam mungkin untuk memotong vena jugularis dan arteri karotid.sehingga darah menyemprot keluar (Gambar 3). Penggantungan ternak melalui kaki belakang, dimana kepala pada posisi sebelah bawah akan mempercepat penge;luaran darah sebanyak mungkin. Mettler (1986) menyatakan bahwa jika penyembelihan dilakukan dengan baik pada kedua arteri karotid maka ternak akan mengeluarkan darah sebanyak mungkin baik dalam keadaan digantung ataupun tidak digantung.








  1. Pengulitan

    Ketika ternak sudah mati dan pengeluaran darah sudah sempurna, kaki depan dilepaskan dengan memotongnya antara patella dengan shank.

    1. Pelepasan kulit kepala

      Pengulitan diawali pada kepala melalui potongan pada garis tengah dari daerah dada (brisket) ke kerongkongan yang kemudian dibuka menuju kearah navel (daerah flank). Kedua sisi kepala dikuliti, dilanjutkan dengan memotong melintang pada bagian atas dari kepala atau tanduk sehingga memungkinkan untuk akses kebagian muka (wajah). Sebelum kepala dilepaskan terlebih dahulu oesophagus diikat dan dilepaskan dari pertautannya pada thoracic cavity, dengan demikian isi rumen tidak dapat mencemari karkas. Kepala dilepas dari karkas dengan memotongnya melalui pertautan antara tulang atlas dengan larnyx.

    2. Pelepasan kulit ekor

      Kulit ekor dibuka dimulai dari anus atau ujung saluran pembuangan (bung). Bung dilepas dari pertautannya pada karkas dengan memotong kulit antara otot pada round dan usus besar. Bung diikat (Gambar 4) untuk menghindari kontaminasi pada karkas dan kemudian didorong melalui rongga pelvis kedalam rongga perut untuk memudahkan didalam pengeluaran isi dalam (evisceration).

    3. Pelepasan kaki belakang

      Kulit pada kaki belakang pada permukaan posterior dibuka kearah tubuh sampai pada daerah lutut dan hock (sekitar tendon achilles) kelihatan. Kemudian kaki dilepas dengan gergaji sampai pada daerah hock. Melalui hock (tendon achilles) dikaitkan pada pengait yang dapat dikerek, selanjutnya karkas ditransfer melalui rel conveyor untuk pengulitan lebih lanjut (Gambar 5).







  1. Rumping

    Pembukaan kulit dari kerongkongan sampai ke daerah flank diperluas ke daerah bung dimaksudkan untuk lebih memudahkan pengulitan yang akan dimulai pada daerah hindquarter. Pisau bolak balik yang digerakkan oleh tekanan udara dapat digunakan untuk melepaskan kulit setelah lebih dahulu dibuka dengan menggunakan tangan. Prosedur ini dinamakan rumping (Gambar 6). Kulit kemudian dilepaskan melalui pengulitan dari atas kebawah menuju garis tengah.

  2. Penarikan kulit

    Pada pabrik yang besar, setelah rumping dilakukan dan kulit pada kaki depan sudah dibuka, suatu penarik kulit biasanya digunakan untuk melepas kulit dari karkas. Ada tiga tipe penarik kulit (hide puller) : 1) "up-puller", dimana menggunkan berat karkas untuk menstabilkan melawan tekanan dari penarik dan melepaskan kulit dari neck ke rump; 2) "down-puller" yang ditautkan pada kulit didaerah rump dan umumnya tidak memerlukan untuk pengulitan kepala (kecuali pada pejantan); dan 3) "side-puller" yang ditautkan pada kulit pada daerah perut (belly) dan menarik kedua sisi dari belly ke belakang.

  3. Pembelahan dada (brisket)

    Brisket dibuka sepanjang garis tengah melalui tulang dada menggunakan ujung tumpul gergaji untuk mencegah kerusakan pada jantung dan paru-paru (Gambar 7). Pembelahan ini memungkinkan untuk akses bebas pada organ-organ yang terdapat dalam rongga dada.



























  1. Pengeluaran isi dalam (evisceration)

    Proses evisceration dimulai dengan terlebih dahulu membuka rongga pelvis dengan melakukan pemotongan antara otot-otot didalam round melalui membran yang tebal. Rongga perut kemudian dibuka dengan memasukkan tangan kedalam rongga tubuh (Gambar 8) dan memotong otot-otot abdominal dengan menggunakan pisau tipis. Berat dari saluran pencernaan akan memungkinkan untuk jatuh ketempat penampungan melalui daerah yang telah dibelah (Gambar 9). Lemak pelvis, lemak ginjal dan ginjal tinggal pada karkas. Saluran pencernaan dilepaskan dari diapragma. Hati bisa dikeluarkan bersama-sama dengan saluran pencernaan atau secara terpisah.

    Jantung, paru-paru, trachea dan oesophagus.yang terdapat dalam rongga dada, kemudian dikeluarkan setelah terlebih dahulu melepaskan diapragma.

  2. Pembelahan Karkas (splitting)

    Pembelahan karkas dilakukan dengan menggunakan tenaga gergaji yang berpisau timbal balik atau dalam beberapa hal digunakan gergaji lingkar (sirkular). Karkas dibelah sepanjang garis tengah dimulai pada dinding yang tebal diantara round dan mengikuti pusat dari kolom spinal, menhasilkan jumlah tulang yang sama pada masing-masing sisi belahan (Gambar 10).

  3. Penyiangan karkas (trimming)

    Bagian-bagian lain pada karkas yang mudah mengalami pembusukan harus dikeluarkan dari karkas seperti spinal cord, arteri besar dan vena pada bagian leher. Darah dan bagian-bagian yang tidak cerah dari otot harus dikeluarkan dari bagian leher untuk mencegah kerusakan yang cepat.

  4. Pengawasan (inspection)

    Inspeksi dilakukan pada daging, viscera dan kepala terhadap kemungkinan terdapatnya hal-hal yang dapat mengakibatkan bagian-bagian karkas menjadi tidak higienis atau membawa penyakit.

  5. Pencucian (washing and shrouding)

    Karkas kemudian dicuci dengan air bertekanan tinggi untuk menghilangkan darah dan kemungkinan kontaminan-kontaminan lainnya. Juga penting untuk menghilangkan potongan jaringan dan debu tulang yang dihasilkan dari pembelahan karkas. Di Amerika, belahan karkas segera dibungkus/diselubungi (shrouding) sebelum ditempatkan diruangan pendingin. Pembungkus tersebut terbuat dari kain putih tebal yang direndam dalam larutan garam lemah yang hangat kemudian dijepit dan direnggangkan secara ketat sepanjang bagian luar dari karkas. Pembungkus ini akan menyerap darah dan menghasilkan lemak yang halus, putih, dan kelihatan rapat yang mana merupakan pilihan utama oleh industri. Pembungkus (shroud) juga mengurangi pengkerutan karena pendinginan pada daging tanpa lemak (very lean) dari ternak melalui aksinya sebagai isolator. Pembungkus ini kemudian dilepaskan setelah 24 jam pendinginan awal.

  6. Penimbangan (Weighing and grading/classification)

    Penimbangan karkas dilakukan dalam keadaan hangat setelah pengkarkasan selesai sebelum karkas didinginkan (dilayukan). Berat karkas merupakan dasar untuk penilaian harga kepada para produser dan juga didalam perdagangan karkas lebih lanjut dalam setiap segmen dalam industri daging. Terdapat perbedaan diantara beberapa negara dalam pembayaran kepada produser yang bisa didasarkan atas berat karkas hangat, berat karkas dingin yang sebenarnya atau berdasrkan atas berat karkas dingin yang diperhitungkan dengan menggunakan standar pengurangan pada berat karkas hangat (Kempster dkk., 1982). Pada umumnya, sejumlah negara menggunakan pembayaran berdasarkan berat karkas hangat, dengan alasan mudah didalam pelaksanaannya.

    Di Eropah, khususnya di Perancis, karkas diklasifikasikan berdasarkan atas konformasi dan tingkat perlemakan. Pengklasifikasian ini diberlakukan pada semua sistim produksi daging : anak sapi, sapi jantan muda, sapi kastrasi, sapi dara, dan sapi betina induk afkir. Klasifikasi berdasarkan konformasi atas lima huruf : E U R O P, dimana E merupakan karkas dengan konformasi sangat baik dan P merupakan konformasi yang paling rendah (Gambar 11). Sedang tingkat perlemakan dinilai berdasarkan angka 1 s/d 5. Angka 5 merupakan karkas dengan tingkat perlemakan yang sangat banyak, sedang angka 1 merupakan karkas dengan tingkat perlemakan yang sedikit (Gambar 12). Karkas dengan kode R.3, merupakan karkas dengan konformasi dan tingkat perlemakan sedang (Gambar 13).

    Pengklasifikasian karkas memberikan implikasi terhadap harga jual dimana karkas dengan kalifikasi E akan memberikan pendapatan pada pelaku uasaha yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan karkas kualifikasi P.




    Gambar 11. Klasifikasi karkas berdasarkan konformasi standar EUROP


Gambar 12. Klasifikasi karkas berdasarkan perlemakan standar 1, 2, 3, 4, 5

Gambar 13. Karkas dengan konformasi dan perlemakan sedang (R.3)


2. Transformasi Kedua

Meliputi proses cutting karkas menjadi whole cut dan retail cut, dimana pada akhirnya akan diperoleh daging sebagai bahan baku utama bagi konsumen (rumah tangga atau industri pengolahan daging) dan bagian-bagian lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan bahan buangan lainnya.

Sebelum dilakukan cutting beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang tinggi :

  1. Pendinginan karkas yang masih hangat dan masih dalam keadaan pra rigor, sebaiknya dilakukan pada temperatur dimana tingkat kejadian pengkerutan otot paling minimal. Berdasarkan penelitian, diperlihatkan bahwa pengkerutan paling rendah terjadi jika dilakukan pendinginan pada temperatur antara 14 - 19 º C. Pada temperatur dibawah 5º C, pengkerutan menjadi maksimal sekitar 50 % (Locker dan Hagyard, 1963). Persentase pengkerutan yang tinggi mengakibatkan daging menjadi keras pada saat dimasak dan kehilangan cairan daging yang cukup berarti, dikenal sebagai cold shortening (pengkerutan karena dingin). Untuk itu sebelum proses cutting dilakukan sebaiknya karkas pra rigor didingankan, untuk menghindari cepatnya perkembangan bakteri, pada temperatur 15º C sampai terbentuknya rigor mortis (selama 24 jam).
  2. Pendinginan pada suhu + 2º C, dilakukan pada karkas yang telah melewati rigor mortis selama beberapa hari, dimaksudkan untuk memanfaatkan kerja enzim proteolitik yang pada akhirnya akan meningkatkan keempukan daging (keterangan lebih lanjut pada bagian aging).

Pemotongan/Pembagian Karkas (Cutting)

Karkas yang telah dibelah menjadi dua pada saat pengkarkasan, selanjutnya dibagi menjadi empat bagian dengan masing-masing memotong dua bagian pada setiap belahan karkas.

Pembagian karkas menjadi potongan utama (whole cut) dan potongan detail (retail cut), bisa berbeda diantara beberapa negara. Pada umumnya karkas bagian depan dipotong pada dua tulang rusuk terakhir atau dengan kata lain karkas depan terdiri dari 11 tulang rusuk. Di Perancis, potongan utama karkas terdiri atas lima tulung rusuk depan ditambah daging bagian perut (flank) disebut AV 5 CAP dan delapan tulang rusuk belakang bersama loin dan paha belakang disebut ART 8 atau potongan pistol. Potongan Parisien merupakan potongan secara detail dimana hampir semua otot diseksi secara anatomi, dimana tiap otot dilepas, disiangi dari syaraf dan lemak dan dijual berdasarkan karakteristiknya untuk tujuan pemasakan cepat atau lambat.

Di Indonesia potongan karkas dilakukan berdasarkan metoda Australia dengan membagi menjadi 14 potong dalam tiga kategori (Gambar 14):

  1. Enam potong pada bagian belakang (potongan pistol) ; 1) filet, 2) sirloin, 3) rump, 4) topside, 5) inside, 6) silverside
  2. Empat potong pada kategori kedua ; 1) cube roll, 2) chuck, 3) chuck tender, 4) blade
  3. Empat potong pada kategori ketiga ; 1) rib meat, 2) brisket, 3) flank, 4) shank.

Pengklasifikasian potongan-potongan karkas akan memberiklan perbedaan harga diantara kategori dan diantara potongan didalam kategori yang sama. Di pasar swalayan di Indonesia terdapat perbedaan harga antara Rp. 500 – Rp. 1000.- diantara potongan karkas dalam kategori yang sama. Nilai ini belumlah cukup besar jika dibandingkan di Negara maju dimana perbedaan harga antara kualitas rendah dengan kualitas tinggi bisa mencapai 5 – 6 kali. Di beberapa pasar swalayan di Jakarta, misalnya Kem Chicks selisih harga tersebut sudah mencapai 2 x artinya jika kualitas terendah dijual Rp. 55.000.-/kg maka kualitas


Gambar 14. Potongan karkas berdasarkan Australian Cutting

tertinggi dapat mencapai harga Rp. 110.000.-/kg. Penjualan daging dengan mengacu kepada kualitas ini akan memberikan dampak peningkatan penghasilan yang diperoleh dari karkas setelah menjumlahkan harga dari masing-masing potongan yang dapat dicapai. Di Perancis peternak dapat memilih apakah menjual sapi dalam bentuk hidup atau dalam bentuk karkas atau daging berdasarkan kualitas. Penjualan dalam bentuk daging berdasarkan kualitas akan memberikan total pendapatan perekor sapi 6 – 7 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjualan dalam bentuk hidup. Hal ini bukan merupakan keajaiban tetapi merupakan kompensasi harga atas penerapan teknologi pengolahan yang dilakukan pada sapi hidup tersebut; agroindustri daging memungkinkan untuk peningkatan pendapatan pelaku usaha.

Maturasi (Aging)

Maturasi (aging) merupakan suatu proses perubahan kimiawi yang terjadi didalam otot dan memberikan pengaruh perbaikan secara progressif pada keempukan daging sampai pada tingkat optimal dimana daging telah menjadi matang. Pada kondisi inilah sebenarnya, daging dibenarkan untuk dikonsumsi. Proses pematangan daging ini dilakukan setelah karkas terlebih dahulu telah mengalami rigor mortis. Maturasi biasanya dilakukan pada belahan karkas (setengah karkas) atau seperempat karkas, tetapi juga dapat dilakukan pada bagian-bagian daging seperti : loin, round, blade dan lainnya.

Untuk memperoleh tingkat kematangan daging yang baik, maka sebaiknya karkas sapi disimpan pada suhu + 2º C selama 10 - 15 hari sebelum daging tersebut dikonsumsi. Tetapi dengan alasan ekonomi, secara praktek, di Perancis maturasi biasanya dilakukan selama 7 - 8 hari, sekalipun dari sisi teknologi belum memadai (ITEB, 1979).

Selama maturasi, enzim-enzim endogen dalam otot seperti CAF dan cathepsin D dan B akan berperanan dalam mendegradasi protein myofibriler (Bird dkk., 1980). Dayton dkk (1978) mengutarakan bahwa enzim CAF dapat mendegradasi garis Z pada struktur myofibriler daging dengan cara seperti apa yang terlihat pada daging yang telah mengalami aging, hal mana dapat memperbaiki keempukan daging. Locker dan Wild (1982) dengan menggunakan yieldmeter untuk mengukur tegangan pada daging berdasarkan lama aging, memperlihatkan tegangan yang rendah pada daging yang telah matang (aged). Hasil ini merupakan pelengkap terhadap hasil yang diperoleh dengan menggunakan beberapa alat pengukur keempukan daging dan sangat sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi selama proses maturasi (Pearson, 1986).

Perbaikan keempukan yang terjadi selama proses maturasi tergantung pada suhu dan lama penyimpanan. Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952). Penyimpanan selama 35 hari, memperlihatkan perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941 dalam Dumont, 1952). Moran dan Smith (1929) dalam Dumont (1952) memperlihatkan adanya peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4º C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari. Keadaan ini menjelaskan bahwa suhu tinggi akan mempercepat perbaikan keempukan, seperti yan dikemukakan oleh Ewell (1940) dalam Dumont (1952) bahwa peningkatan keempukan yang tinggi akan dicapai pada tiga hari pertama pada suhu 15,6º C dan dalam waktu sembilan minggu pada suhu + 1,1º C. Penerapan maturasi yang dilakukan pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan tradisional), terlihat bahwa terjadi peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995). Selain itu diperlihatkan pula bahwa penerapan aging maka keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995).

Hubungan antara lama maturasi pada suhu + 2º C dengan keempukan daging masak berdasarkan uji sensorik (uji panelis), diperlihatkan oleh Dumont (1952) sebagai berikut : keempukan meningkat setelah rigor mortis terbentuk (24 jam pascamerta), dimulai pada hari ke dua dan mencapai optimal pada hari ke enam kemudian stabil sampai pada hari ke 10.

Daging yang telah mengalami maturasi mempunyai harga jual yang lebih mahal dibanding dengan tanpa maturasi. Hal ini disebabkan tiada lain karena selama penyimpanan dingin (maturasi) terjadi kehilangan berat yang mana harus diperhitungkan dalam bentuk pembiayaan yang bersama-sama dengan biaya – biaya lainnya yang dikeluarkan selama maturasi tersebut, serta selisih harga akibat peningkatan kualitas sehingga dikompensasi dalam bentuk harga jual yang harus lebih mahal.

Perubahan Berat Hidup Menjadi Berat Daging Seekor Sapi

PETERNAKAN

BERAT BADAN 680 kg


TRANSPORT/ISTIRAHAT

BB sebelum sembelih 650 kg

PENYEMBELIHAN

Karkas Hangat 371 kg


PELAYUAN

Karkas Dingin 364 kg



MATURASI

Karkas matang, sebelum 360 kg

Cutting

CUTTING

Daging netto 245 kg

Gambar 15. Perubahan berat hidup ke berat daging setelah pengkarkasan

Rendemen penyembelihan (% karkas) adalah perbandingan antara berat karkas dingin (setelah pelayuan) dengan berat badan pada saat berangkat dari peternakan dalam persentase; pada sapi-sapi Eropah mencapai 53,5 % dan bervariasi tergantung atas kondisi pakan, kondisi ternak dan kondisi penimbangan. Persentase karkas berdasarkan jenis produksi adalah 54-58 %, 52-57%, 50-56%, dan 49-52% secara berurutan masing-masing untuk sapi muda, sapi jantan kastrasi, sapi dara, dan sapi betina induk. Persentase karkas merupakan acuan dalam penentuan harga berdasarkan berat karkas dimana harga perkilogramnya minimal sama dengan harga hasil pengkalian antara persentase karkas dengan harga perkilogram berat badan ditambahkan biaya yang timbul selama pengkarkasan.

Persentase daging netto dari berat karkas disebut rendemen daging, dimana variasinya tergantung atas bangsa, jenis kelamin, umur, tingkat kegemukan dan konformasi. Nilai rendemen daging tergantung dari berat bagian-bagian yang bukan karkas (offal) dalam komposisi karkas; secara berurutan untuk rendemen daging, tulang, lemak, dan bagian yang dibuang masing-masing adalah 56-75%, 13-18%, 5-22%, dan 4-7%. Rendemen daging merupakan faktor pengali pada berat karkas untuk mengetahui jumlah daging yang dihasilkan oleh seekor ternak.

Berdasarkan atas metode pemasakan pada daging, ada dua teknik pemasakan yakni pemasakan cepat yang diperuntukkan pada otot yang kualifikasinya empuk yang dimasak dengan metode kering; panggang, bakar, dan pemasakan lambat yang umumnya menggunakan media air dalam pemasakannya. Dari 245 kg berat daging netto (lihat flow chart) terdapat 132 kg (54%) daging untuk pemasakan cepat dan 113 kg (46%) daging untuk pemasakan lambat. Persentase pembagian penggunaan daging netto ini bisa bervariasi berdasarkan atas umur, jenis kelamin dan bangsa; secara berurutan masing-masing 52-56% dan 44-48% untuk pemasakan cepat dan pemasakan lambat. Penentuan harga berdasarkan atas junlah daging yang dihasilkan dan kualifikasinya akan memberikan jumlah penghasilan yang lebih baik dari seekort sapi dibandingkan penentuan harga berdasarkan berat hidup atau berat karkas. Di Perancis, penghasilan dari penjualan daging rump bisa lima kali lebih besar perkilo gramnya dibanding jika dijual dalam keadaan hidup. Tidak hanya selisih harga diperoleh dari konsekuensi transformasi bahan baku menjadi suatu produk akhir tetapi juga diharapkan pemasukan dari bagian-bagian lainnya yang bukan karkas: kulit, tulang, darah, kepala, ekor dan jeroan.

3. Transformasi Ketiga

Pengawetan dan pengolahan daging merupakan proses yang berlangung ditingkat hilir dari suatu industri peternakan atau merupakan suatu subsistem dari agribisnis, yang sering pula disebut agroindustri. Kedua kegiatan ini tidak terlepas satu sama lainnya; bahan baku yang berasal dari daging segar (mentah) dapat langsung diproses melalui pengolahan menjadi suatu produk olahan atau terlebih dahulu melalui pengawetan sebelum dilakukan pengolahan. Demikian pula produk daging olahan, agar dapat bertahan lebih lama, selanjutnya dapat dilakukan pengawetan.

Kedua proses ini pada umumnya dilakukan selain bertujuan untuk mempertahankan daya simpan dari suatu bahan pangan yang muidah mengalami kerusakan seperti daging, juga dimaksudkan untuk mendapatkan nilai tambah melalui peningkatan kualitas (mutu) dari produk yang telah melalui pengoalahan dan pengawetan tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.

Pengawetan Daging

Pengawetan daging dimaksudkan untuk mengurangi atau menghentikan sama sekali, sesuai dengan teknik yang digunakan, perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging segar atau produk olahannya selama proses penyimpanan.

Daging sebagai hasil proses biokimia dan biofisika daripada otot setelah ternak dipotong, merupakan media tumbuh yang baik bagi mikro organisme. Dengan demikian diperlukan penanganan yang serius untuk mencegah perbanyakan mikro organisme khususnya bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan/pembusukan daging dalam waktu yang sangat cepat.

Beberapa teknik pengawetan yang sering digunakan dan diaharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :

1. Penggunaan suhu rendah

Dinegara-negara industri, hampir semua bahan makanan asal hewan seperti daging dan ikan disimpan dengan menggunakan teknik suhu rendah yakni pendinginan dan pembekuan. Penggunaan teknik pendinginan dimana suhu sedikit diatas 0°C, memungkinkan bahan makanan dapat disimpan selama beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung jenis makanan, suhu dan teknik penyimpanan. Pada teknik pembekuan dimana suhu dibawah 0°C, umumnya sekitar – 18°C, bahan
makanan/daging dapat disimpan selama beberapa bulan, malahan daging dapat disimpan sampai beberapa tahun pada suhu – 30°C.

Dinegara-negara yang teknologinya masih rendah seperti di Indonesia dan khususnya ditingkat pedesaan dimana pemakaian suhu rendah masih menjadi kendala maka penggunaan teknologi sederhana dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia merupakan pilihan utama dalam penyimpanan bahan makanan asal ternak tersebut.

1.1. Pendinginan (refrigeration)

Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Oleh karena itu sangat penting diperhatikan bahwa suhu dingin sebaiknya secepat mungkin dioperasikan setelah ternak dipotong dan agar daging/karkas sekurang mungkin dicemari/terkontaminasi oleh bakteri selama proses pemotongan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas higienis yang baik.

Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging.

Seperti pula diketahui bahwa suhu karkas berkisar 35 – 37° C pada akhir proses pemotongan maka peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat disimpan pada suhu sekitar 0 - +2° C. Pendinginan karkas dengan menggunakan suhu mendekati titik nol (0 – 5° C) pada suhu karkas masih tinggi , dimana pada saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti selama pemasakan.

Pada tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase pengkerutan paling minimal, berdasarkan penelitian Locker dan Hagyard (1963) untuk memperoleh pengekerutan minimal sebaiknya daging didinginkan pada suhu antara 14 – 19° C selama 24 jam pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk. Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada suhu 37° C, 34° C, 24° C, dan 15° C, masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan.

Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat dengan suhu sangat rendah pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging mengakibatkan kealotan yang berarti.

Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin (+ 2° C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses transformasi kimia didalam otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging secara progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat inilah daging sebaiknya dikonsumsi.

Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10 – 15 hari pada suhu + 2° C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung selama 7 – 8 hari dengan alasan ekonomi. Hal mana tidaklah cukup dari segi teknisnya. Gambar 16, memperlihatkan evolusi keempukan daging berdasarkan lama penyimpanan pada suhu mendekati 2 C°.










Gambar 16. Perubahan keempukan berdasarkan lama penyimpanan

Dari grafik tersebut terlihat bahwa kealotan daging yang terjadi pada saat rigor mortis terbentuk (pada hari pertama), ditandai dengan skor kealotan mendekati 3 (makin tinggi skor, daging makin empuk), secara progresif sejak hari kedua keempukan daging semakin meningkat dan membentuk suatu garis datar (plat) pada hari keenam sampai hari ke 10. Peningkatan keempukan setelah hari ke 10 sampai hari ke 12 terjadi dengan kecepatan peningkatan yang lebih rendah disbanding pada peningkatan yang terjadi pada hari kedua sampai hari keenam. Abustam (1995) menyatakan bahwa perbaikan keempukan daging sapi Bali secara rata-rata dengan mengabaikan system pemeliharaan (penggemukan dan tanpa penggemukan) selama 12 hari maturasi sebesar 21,83 % dimana secara berurut-turut pada hari ketiga, keenam dan kesembilan sebesar 8,90 %, 13,90 %, dan 18,66 %. Perbaikan keempukan pada sapi tanpa penggemukan lebih baik daripada sapi penggemukan; secara rata-rata dari hari pertama sampai hari ke 12 sebesar 17,15 % pada sapi Bali pemeliharaan tradisional dan 14,49 % pada sapi Bali penggemukan.

1.2. Pembekuan (Freezing)

Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak.

Untuk pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan – potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga dimaksudkan untuk menghindari peruabahan – perubahan yang dapat terjadi pada daging selama penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan.

Untuk mendapatkan hasil/kualitas yang baik selama pembekuan maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :

- Penggunaan suhu pembekuan cepat (- 36° C) atau sangat cepat (- 40° C) pada karkas atau daging yang telah mengalami maturasi.

- Menyimpan daging beku pada suhu rendah (-18° C).

- Menghindari variasi suhu selama penyimpanan.

- Menghindari pembekuan atau thawing secara berturut-turut.

- Thawing dilakukan secara lambat pada suhu + 1° C.

PENGOLAHAN DAGING

Pengolahan, pada dasarnya dimaksudkan penerapan teknologi proses pada suatu bahan baku yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk dari suatu bentuk yang masih utuh menjadi bentuk lain dari produk hasil olahan tersebut. Pada umumnya pengolahan akan meningkatkan nilai tambah sebagai kompensasi dari penambahan biaya operasional selama pengolahan dan juga akibat adanya peningkatan kualitas dari komponen yang digunakan pada produk olahan tersebut.

Produk-produk olahan yang pada umumnya dilakukan pada daging adalah bakso, abon, dendeng dan sosis.

Suatu pengolahan akan memberikan nilai tambah yang cukup berarti jika harga jual dari produk olahan tersebut minimal dua kali lipat dari harga bahan bakunya. Dalam suatu formulasi produk olahan, misalnya bakso dengan mengunakan daging 50% dengan harga Rp. 25.000.-, dianggap akan memberikan nilai tambah yang cukup baik jika bakso perkilogramnya dijual Rp. 50.000.-. Penambahan bahan-bahan bukan daging dan bumbu-bumbu mengakibatkan volume daging bisa meningkat 1,5-2 kali didalam formulasi. Subsitusi bahan daging dengan bahan bukan daging yang bisa memberikan tekstur seperti pada daging dan dengan cita rasa yang tidak terlalu menyimpang dengan harga yang jauh lebih murah dari harga daging akan amat sangat berarti dalam pengolahan daging. Para pengolah pada umumnya menggunakan teknik ini sehingga diharapkan penghasilan yang diperoleh jauh lebih baik. Bagian-bagian tubuh ternak (daging variasi) yang nilai ekonominya rendah seperti

daging pipi, lidah, hati, jantung, babat dan lambung dapat ditambahkan dengan maksud selain untuk memperbaiki karakteristik dari produk olahan seperti penampilan warna merah pada produk olahan yang sifatnya pucat dapat ditambahkan hati atau daging pipi juga untuk mendapatkan nilai tambah dari bahan-bahan tersebut melalui produk olahan.

Bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam pengolahan daging menjadi sosis selain daging sebagai bahan baku utama, ditambahkan bahan bukan daging yang berfungsi selain sebagai bahan pengikat atau ekstender, juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengikatan lemak & air, meningkatkan rendemen pemasakan (cooking yield), memperbaiki karakteristik irisan, memberi citarasa serta menurunkan biaya formulasi. Batas penggunaan sampai 3,5%. Garam selain bisa meningkatkan sifat fungsionalitas daging juga diharapkan sebagai bahan pengawet dan untuk meningkatkan cita rasa, penggunaannya dibatasi 1-5 %. Bahan penstabil warna, pengasam dan bahan pemanis pada produk sosis tertentu (sosis fermentasi) dan bahan penyedap ditambahkan dengan batasan yang telah ditentukan. Penambahan mana akan meningkatkan volume adonan sebelum dibentuk menjadi suatu produk, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan tersebut dan tentunya penghasilann yang akan diperoleh juga meningkat.

  1. Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indicator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang penegertian dan mekanisme penyediaan daging.

  1. Tugas

MATA KULIAH :
Dasar Teknologi Hasil Ternak (271I123)

SEMESTER :
Ganjil 2007/2008 SKS : 3

TUGAS Ke : 1 (satu)

  1. TUJUAN TUGAS : Menjelaskan mekanisme penyediaan daging (merah dan putih) untuk kebutuhan masyarakat
  2. URAIAN TUGAS :

a. Obyek garapan : Daging yang berasal dari ternak besar, kecil dan unggas

b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan : Membuat suatu portofolio tentang mekanisme penyediaan daging yang berisi tentang sumber bahan baku, proses yang berlangsung dalam transformasi ternak hidup menjadi daging, hubungan antara daerah produsen ternak dengan daerah konsumen dalam mata rantai penyediaan daging. Kebutuhan daging secara nasional dan daerah per kapita/tahun Peraturan terkait dengan perdagangan daging antar daerah

c. Metodologi / cara pengerjaan, acuan yang digunakan : Metode pembelajaran kuliah dan project base learning (Pj.BL). Setiap individu dalam kelompok mencari bahan-bahan melalui perpustakaan (text book dan jurnal), internet, kerja laboratorium jika diperlukan, diskusi kelompok dan presentasi dipantau fasilitator (tutor), yang pada akhirnya menghasilkan suatu laporan dalam bentuk portofolio

d. Kriteria luaran tugas yang dihasilkan/ dikerjakan : mampu menjelaskan dengan tepat melalui komunikasi, kerjasama team dalam kelompok dan kreativitas dalam membuat portofolio bekaitan dengan penyediaan daging untuk kebutuhan masyarakat

  1. KRITERIA PENILAIAN :

a. Kognitif: kemampuan ilmu pengetahuan melalui ujian

b. Afektif: sikap setiap individu melalui kemampuan komunikasi, leadership, kreativitas, kedisiplinan dan kerjasama team

c. Psikomotorik: kemampuan skill dalam kegiatan laboratorium dan perilaku

BAB III. PENUTUP

Penerapan agroindustri hasil ternak melalui teknik penanganan pascapanen, pengawetan (pendinginan dan pembekuan) serta pengolahan daging yang dibahas pada materi ini lebih banyak mengacu kepada keadaan yang berlaku di negara-negara maju, yang secara praktek dapat merupakan acuan untuk diterapkan dinegara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam rangka menghadapi pasar global, mau tidak mau kita semua harus memikirkan perbaikan kualitas daging agar nantinya produk kita mampu bersaing dalam pasar bebas nanti. Teknik penyembelihan disesuaikan dengan tuntutan ritual untuk menghasilkan produk halal tanpa mengurangi penerapan ilmiah untuk menghasilkan kualitas karkas/daging yang tinggi.

Di negara-negara maju dimana tenaga kerja cukup mahal, otomatisasi pengkarkasan dengan sistem robotisasi sudah mulai diteliti pada 20 tahun terakhir, selain bertujuan untuk percepatan prosessing juga dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kehilangan bagian-bagian karkas yang bisa terjadi jika penanganannya dilakukan oleh manusia. Kondisi seperti ini tentunya akan sangat berat untuk diterapkan di Indonesia, melihat jumlah tenaga kerja yang banyak dan murah.

Hal yang perlu dipertimbangkan untuk diteliti dan dikaji lebih jauh di negara kita ini adalah berusaha menciptakan suatu sistem pengklasifikasian dan grading karkas khas Indonesia ; berdasarkan atas konformasi dan perlemakan pada masing-masing ternak sapi di Indonesia, khususnya ternak lokal sapi Bali sebagai plasma nutfah Indonesia. Hal ini akan menghasilkan sutau metode pengklasifikasian daging berdasrkan mutunya, yang pada akhirnya akan dapat memberikan perbedaan harga yang berarti.

Penerapan suhu rendah pada daging segar selain dimaksudkan untuk memperpanjang lama simpan juga sekaligus akan memperbaiki mutu dari daging tersebut, yang pada akhirnya juga akan memberikan harga yang lebih baik.

Demikian pula melalui pengolahan daging dengan memanfaatkan teknologi pencincangan, penggilingan dan pencampuran dalam membentuk suatu produk olahan akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang nilai ekonominya rendah tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dari para pelaku usaha terkait: peternak, pengolah dan retailer.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
    1. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
    2. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
    3. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey

Tidak ada komentar: