Minggu, 01 Maret 2009

Kualitas Daging

MODUL V

JUDUL: KARAKTERISTIK KUALITAS DAGING

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa (flavour), dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi, tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas ini sering pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan). Penilaian karakteristik kualitas ini yang pada awalnya dinilai oleh konsumen secara organoleptik, berkembang menjadi penilaian dengan menggunakan peralatan untuk menghindari subyektifitas. Namun demikian para pakar dibidang organoleptik menyatakan bahwa justru penilaian dengan menggunakan alatlah yang lebih subyektif karena alat merupakan imitasi dari organ-organ panca indera yang digunakan lebih awal dalam penilaian tersebut. Alat yang dipergunakan untuk menilai keempukan daging diciptakan melalui imitasi dari kemampuan gigi geligi (geraham) dalam melakukan gigitan pertama dan selama pengunyahan pada daging. Pendekatan statistik melalui penggunaan sejumlah panelis terlatih dan pengulangan berulang kali dalam penilaian kualitas secara sensorik/organoleptik dimaksudkan adalah untuk lebih mengobjektifkan hasil penilaian tersebut.

Modul ini dimaksudkan untuk membahas pentingnya sifat-sifat sensori (karakteristik kualitas) pada daging dikaitkan dengan preferensi konsumen dalam penilaian kualitas, serta faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya variasi dan perubahan-perubahan dari sifat-sifat kualitas tersebut.

  1. Ruang Lingkup Isi

    Modul ini membahas tentang atribut kualitas daging:

    1. Warna: faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pigmen daging
    2. Kempukan: metoda penilaian keempukan dan faktor-faktor penyebab variasi keempukan
    3. Flavor (citarasa)
    4. Kebasahan
  2. Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan kelima dari enam modul Ilmu Daging; setelah membahas modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging, kemudian modul kedua tentang Konversi otot menjadi daging, modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul keempat tentang Struktur Otot dan modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging.

  1. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk mengevaluasi kualitas daging.

BAB II. PEMBAHASAN

Faktor-Faktor Sensorik Yang Berkaitan Dengan Kualitas Daging:

  • Warna Daging

Merupakan sifat kualitas yang penting tidak hanya bagi industri daging tetapi juga bagi konsumen rumah tangga. Bagi industri daging bahwa penampilan fisik daging yang diterima oleh konsumen pada tingkat eceran memberikan tingkat penerimaan yang tinggi (Cross, dkk., 1986). Bagi konsumen persepsi paling awal pada saat akan membeli daging dan menjadi pertimbangan utama adalah warna. Cross, dkk (1986) menyatakan bahwa ketika mempertimbangkan gambaran spesifik dari penampilan fisik daging, penelitian menunjukkan bahwa warna daging merupakan faktor kualitas yang lebih berpengaruh bagi pemilihan konsumen. Konsumen mengkaitkan antara warna dengan kesegaran daging (Adams dan Huffman, 1972), dimana melalui pembelajaran lewat penelitian dinyatakan bahwa warna daging segar adalah merah cerah (bright red) dan penyimpangan dari warna ini menjadikan daging tersebut tidak diterima (Urbain, 1952).

Pigmen prinsipal pada jaringan otot yang berhubungan dengan warna adalah pigmen darah hemoglobin, terutama dalam aliran darah, dan mioglobin yang terdapat dalam sel. Sekitar 20 -30% dari total pigmen yang ada dalam ternak hidup adalah hemoglobin (Fox, 1966). Fungsi biologis dari hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel otot melalui sistem peredaran darah, sedang fungsi mioglobin adalah mengikat oksigen pada dinding sel untuk digunakan pada metabolisme pemecahan secara berurutan dari beberapa metabolit, seperti yang ada pada siklus asam trikarboksilat.

Mioglobin merupakan pigmen utama yang bertanggung jawab untuk warna daging. Ada tiga macam mioglobin yang memberikan warna yang berbeda; pada jaringan otot yang masih hidup, mioglobin dalam bentuk tereduksi dengan warna merah keunguan, mioglobin ini seimbang dengan mioglobin yang mengalami kontak dengan oxigen, oximioglobin yang berwarna merah cerah. Ketika bagian interior daging mengalami kontak dengan oxygen yang berasal dari udara, oxygen akan bergabung dengan heme dari mioglobin untuk menghasilkan oximioglobin. Jadi warna daging berubah dari merah keunguan menjadi merah cerah. Jika oxygen dikeluarkan dari potongan daging, warna akan berubah kembali menjadi merah keunguan sebab pigmen didesoksigenasi kembali menjadi mioglobin (Cross, dkk., 1986; Gambar 1).


 


 

Gambar 1. Perubahan-perubahan pigmen pada daging merah


 

Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan biasanya disebut blooming pada industri daging. Oximioglobin yang merah tetap stabil sepanjang heme tetap teroksigenasi dan besi dalam heme tetap pada status tereduksi (Clydesdale dan Francis, 1971).

Bentuk lain dari mioglobin ditandai adanya oxidasi besi dari heme didalam mioglobin dari bentuk Fe 2+ (ferrous) menjadi Fe 3+ (ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen utama penyebab penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Nampaknya merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan (Gambar 1). Reaksi ini dapat reversible sepanjang ada senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide) didalam daging. Ketika kemampuan pereduksi dari otot hilang, namun, warna dari daging tetap coklat sebab atom besi dari heme yang telah teroksidasi tidak dapat direduksi. Namun demikian daging yang demikian masih menyenangkan untuk dikonsumsi setelah dimasak (Cross, dkk., 1986).

Setelah pembentukan metmioglobin, oksidasi lebih lanjut yang merubah mioglobin disebabkan oleh enzim dan bakteri yang akan menghasilkan warna coklat, hijau, dan senyawa –senyawa dengan penampilan memudar.

Beberapa otot pada karkas berubah warnanya lebih cepat daripada yang lain. Ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan mereduksi metmioglobin (metmioglobin reducing ability, MRA) dari sejumlah otot. Beberapa otot mempunyai pereduksi yang berlebih, dimana besi pada heme dari molekul mioglobin dalam status tereduksi untuk suatu periode yang lama, menghasilkan apakah dalam bentuk mioglobin tereduksi atau oximioglobin. Hal ini yang menjelaskan mengapa beberapa potongan daging akan tahan 4 – 5 hari pada lemari pendingin, sementara yang lain akan berubah warna hanya sesudah 1 – 2 hari. Kemampuan mereduksi metmioglobin (MRA) didasarkan atas jumlah glukosa dan enzim pereduksi didalam otot. MRA dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antemortem seperti status nutrisi dan jumlah latihan yang diterima oleh ternak sebelum disembelih.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pigmen daging

Tekanan oksigen yang tinggi adalah karakteristik dari oksimioglobin dan ditemukan pada permukaan daging. Tekanan oksigen yang rendah mengakibatkan pembentukan metmioglobin dan pada akhirnya penampilan daging menjadi coklat.

Reaksi oksidasi mioglobin ungu menjadi metmioglobin coklat disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti suhu tinggi, pH rendah, garam, atmosfer oksigen rendah, bakteri aerobik, daya tembus oksigen yang rendah dari film pembungkus. Faktor-faktor ini penting, bahwa mereka menyebabkan desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil dan penurunan oksigen yang tersedia, yang mana mengakibatkan tekanan oksigen rendah.

Suhu yang tinggi, menyebabkan pembentukan globin yang berfungsi untuk mempertahankan heme menjadi berkurang, akibatnya terjadi desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil. Kemudian mioglobin tereduksi yang tidak stabil tersebut dioksidasi menjadi metmioglobin.

Pada nilai pH <5,4, oksidasi mioglobin akan terjadi. pH yang rendah akan menyebabkan denaturasi terhadap protein globin yang mempertahankan heme dan berikutnya mengakibatkan pelepasan oksigen dari heme demikian juga oksidasi molekul besi. Asam adalah agen oksidasi yang dikenal baik dan oleh karena itu mengoksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Karena pH menurun secara kontinu, maka tingkat oksidasi yang terjadi akan meningkat.

Garam, sebagai agen oksidasi mioglobin, mempunyai dua mekanisme dari pelaksanaan oksidasi. Pertama, garam menurunkan pH pada kondisi buffer daging, jadi oksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Kedua, garam menurunkan pengambilan oksigen, menyebabkan tekanan oksigen yang rendah.

Perubahan warna daging dapat juga dihubungkan dengan kontaminasi bakteri aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisi dimana terjadi. Permintaan oksigen yang tinggi bagi bakteri aerobik pada fase logaritmik dari pertumbuhan mengakibatkan pembentukan metmioglobin, menghasilkan pengaruh terhadap perubahan warna. Peningkatan jumlah bakteri aerobik mengakibatkan permukaaan daging berubah warnanya dari merah oksimioglobin menjadi coklat metmiglobin dan kemudian ke ungu mioglobin tereduksi.

Jenis kemasan yang digunakan juga memegang peranan pada oksidasi dan pertumbuhan bakteri.

Pengurasan glikogen sebelum ternak disembelih akan mengakibatkan perubahan warna daging pada saat mengalami rigor mortis dari warna yang seharusnya merah cerah menjadi merah tua (gelap) disertai dengan struktur otot yang merapat (firm) dan kering, dikenal sebagai dark firm dry (dfd) atau biasa juga disebut sebagai dark cutting beef (dcb) pada ternak sapi atau kerbau. Kelainan ini ditandai dengan pH daging yang masih cukup tinggi pada saat rigor mortis yakni diatas pH > 5.8. Dibedakan tiga tingkatan DCB yakni DCB ringan jika pH 5.8 – 6.0, DCB sedang pH 6.0 – 6.2 dan DCB berat jika pH > 6.2.

Warna daging pascarigor juga bisa berwarna pucat akibat instalasi rigor mortis yang sangat cepat yakni bisa beberapa menit pada daging babi yang diakibtakan karena stress yang sangat berat. Kejadian ini merupakan kebalikan dari DCB dan disebut sebagai PSE (pale, soft, exudative): daging berwarna pucat, mudah terurai (sangat lembek), dan berair; pH < 5.3 (dibawah titik iso elektrik daging)

Stimulasi Listrik pada karkas mengakibatkan warna otot menjadi lebih merah cerah pada bagian yang distimulasi dibandingkan pada daerah yang tidak distimulasi (Gambar 2).


 


 

Gambar 2. Pengaruh stimulasi listrik terhadap warna otot: warna merah cerah pada stimulasi listrik (kanan) dibanding tanpa stimulasi listrik (kiri)


 

  • Keempukan Daging

Bagi konsumen, keempukan merupakan satu dari kualitas organopletik yang prinsipal pada daging. Keempukan merupakan komponen utama, sebesar 64 %, dalam penilaian tekstur daging masak, kemudian menyusul kebasahan sebesar 19 % (Dransfield dkk., 1984).

Keempukan daging dapat dinilai berdasarkan metoda langsung dan tidak langsung.

Metoda langsung (penilaian sensorik)

Umumnya digunakan oleh para konsumen, penilaian sensorik kualitas daging, khususnya keempukan, didasarkan atas kemudahan penetrasi gigi pada daging dan usaha-usaha yang dilakukan oleh otot-otot pada daerah geraham selama pengunyahan. Penilaian secara sensorik dilakukan oleh sejumlah juri degustasi dalam bentuk panelis. Masing-masing juri menilai keempukan berdasarkan atas angka-angka (skor) yang telah ditentukan terlebih dahulu ; 1 (sangat keras) dan 10 (sangat empuk). Indeks keempukan daging ditentukan berdasarkan nilai rata-rata dari masing-masing juri.

Metoda ini memungkinkan untuk menilai secara langsung sifat-sifat organoleptik daging dan khususnya memungkinkan untuk dapat membedakan antara kekerasan jaringan ikat dan keempukan miofibriler (Cover dkk., 1962 ; Dutson dkk., 1976).

Untuk mengevaluasi seakurat mungkin kualitas organoleptik daging, seharusnya para penguji terdiri dari juri terlatih dengan jumlah yang banyak (Amerine dkk., 1965). Cross dkk. (1978) menemukan suatu koefisien korelasi sebesar 0,90 antara nilai keempukan dari juri berbeda yang diseleksi dan sangat terlatih. Penelitian lain memperlihatkan koefisien repetisi penilaian keempukan yang dilakukan oleh 10 anggota juri yang tidak terlatih sebesar 0,56 (Hovenden dkk., 1979).

Hal yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang serupa selama satu sesi pengujian, seharusnya juri yang digunakan adalah orang yang sama (Touraille, 1982). Metoda analisis sensorik juga perlu menggunakan jumlah sampel yang banyak, selain itu masalah yang berkaitan dengan homogenitas daging dan pengaruh pemasakan dapat saling menutupi, perlu diperhatikan.

Nampaknya juri degustasi dapat membedakan dengan mudah sampel yang berasal dari otot yang berbeda dibandingkan dengan yang berasal dari otot yang sama. Demikian juga, mulut akan menjadi lebih sensitif pada keempukan jika dilakukan pengujian pada otot-otot dengan tekstur yang berbeda seperti halnya teknik pengukuran daya putus (Khan dkk., 1973). Selain itu keempukan merupakan persepsi multidimensional dan membutuhkan definis yang spesifik untuk mendefinisikannnya. Perlu pembatasan dalam penilaian kedalam pengertian kebasahan dan keempukan.

Metoda tidak langsung

Metoda ini didasarkan pada penilaian dengan menggunakan instrumen (mekanik) dan analisis kimia daging. Penilaian instrumen mengimitasi lebih atau kurang pengunyahan dalam bentuk pengguntingan/pengirisan atau pemecahan daging.

Pendekatan kimiawi bertujuan untuk mengkarakterisasi kuantitas dan kualitas komponen muskuler yang terlibat dalam kekerasan muskuler, dimana kolagen merupakan salah satu faktor utama dari keragaman.

Penilaian secara instrumental

Sejumlah alat telah dikembangkan untuk mengestimasi keempukan atau sifat-sifat mekanik daging. Peralatan ini didasarkan atas cara kerja seperti: daya putus (pengguntingan), penetrasi, pencincangan atau kompressi (Asghar dan Pearson, 1980).

Metoda yang paling sering digunakan adalah pengguntingan/pemotongan (shear force) dan kompressi (compression).

Warner-Bratzler (WB) merupakan alat pengukur daya putus daging yang paling sering digunakan; alat ini diciptakan oleh Warner pada tahun 1928 dan selanjutnya dimodifikasi oleh Bratzler pada tahun 1932 dan pada saat itulah disebut sebagai Warner Bratzler Shear Force (Pearson, 1963). Beberapa hasil pengukuran memperlihatkan bahwa nilai daya putus yang tercatat berhubungan erat dengan komponen miofibriler dari pada komponen jaringan ikat (Paul dkk., 1973). Dari sejumlah hasil penelitian diperoleh koefisien korelasi yang baik antara pengukuran daya putus menggunakan Warner Bratzler dengan pengukuran secara sensorik (panelis tes) yakni antara 0,65 - 0,85 (Pearson, 1963). Koefisien korelasi ini menjadi rendah jika terdapat perbedaan tegangan yang besar antar sampel jaringan ikat (Penfield dan Meyer, 1975).

Creuzot-Dumont (CD) juga merupakan alat pengukur daya putus daging, diciptakan di Perancis (Creuzot dan Dumont, 1983), dengan prinsip kerja yang sama dengan WB shear force, yakni daging dipotong/diputus tegak lurus pada arah serat. Perbedaan diantara keduanya yakni dari sisi perletakan sampel, dimana pada CD shear force sampel diletakkan dalam satu sel tertutup sehingga tidak terjadi deformasi lateral. Sedang pada WB shear force sampel diletakkan diatas pisau berlubang berbentuk segitiga yang terbuka, memungkinkan ketidakseimbangan (tidak stabil) sampel sehingga dapat terjadi deformasi lateral pada saat penekanan/pemutusan sampel. Terdapat korelasi yang baik antara kedua alat shear force tersebut, berdasarkan hasil penelitian Morelli (1980) dan Abustam (1984).

Karena kesulitan mengontrol fungsi kerja dari pengukur keempukan daging dengan sistem daya putus (shear force) maka dikembangkan alat pengukur generasi baru yang berfungsi kompressi. Alat ini dapat mengukur tegangan yang berasal dari miofibriler dan dari jaringan ikat, tergantung pada tingkat deformasi yang diterapkan; deformasi 20 % akan mengukur tegangan yang berasal dari miofibriler sedangkan 80 % akan mengukur tegangan jaringan ikat.(Lepetit dan Sale, 1985 ; Lepetit dkk., 1986).

Mesin universal seperti INSTRON, sekarang ini banyak digunakan dalam pengukuran keempukan karena sel tempat sampel bisa diganti-ganti sesuai dengan kebutuhan ; daya putus atau kompressi.

Evaluasi kimiawi

Penilaian kimia (kadar) kolagen sebagai komponen utama jaringan ikat mulai dikembangkan pada saat Lehman pada tahun 1907 memperlihatkan hubungan antara kandungan kolagen dari beberapa otot dengan keempukan otot-otot tersebut. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan hubungan tidak langsung anatara kandungan kolagen dengan kekerasan pada daging. Pengukuran kadar kolagen dilakukan dengan mengukur asam amino hidroksiprolin dengan beberapa teknik; spectrofotometer, nuclear magnetic resonance, infra red spectrofotometer, metoda histokimia dan immunologie (Bergmann dan Loxley, 1963 ; Jozefowics dkk., 1977 ; O'Neil dkk., 1979 ; Bonnet dan Kopp, 1985 ; Etherington dan Sims, 1981).

Pengukuran tingkat retikulasi kolagen yang sangat ditentukan oleh ikatan-silang dilakukan dengan mengukur solubilitas kolagen dan tegangan isometrik kolagen selama pemanasan. Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat retikulasi kolagen yang erat kaitannya dengan umur ternak memperlihatkan hubungan yang erat dengan kekerasan daging.

  • Flavor (Citarasa)

Citarasa daging, merupakan fenomena yang kompleks berkaitan dengan senyawa-senyawa yang larut dan volatil. Melibatkan organ pencicipan dan penciuman dalam penilaiannya.

Citarasa bervariasi berdasarkan atas : potongan daging dan tingkat infiltrasi lemak (marbling), tingkat perubahan yang terjadi selama maturasi, beberapa karakter zooteknis dan cara penyajian masakan.

  • Kebasahan

Merupakan kemampuan daging untuk melepaskan jus (cairan daging) selama pengunyahan, sebaliknya kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air disebut sebagai water holding capacity (WHC).

Kebasahan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian kualitas daging, bersama dengan keempukan dapat menjelaskan sampai > 80 % pilihan konsumen dinegara maju terhadap kualitas daging. Daging yang empuk pada umumnya pada saat gigitan pertama akan menghasilkan jus yang cukup berarti. Terdapat korelasi yang baik antara pelepasan jus daging dengan keempukan.

Kebasahan bervariasi berdasarkan pH, maturasi dan faktor stress.

  • Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indikator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang karakteristik kualitas daging.

  • Tugas

MATA KULIAH :
Dasar Teknologi Hasil Ternak (271I123)

SEMESTER :
Ganjil 2007/2008 SKS : 3

TUGAS Ke : 3 (tiga)

  1. TUJUAN TUGAS : Pemecahan masalah kualitas daging
  2. URAIAN TUGAS :

    a. Obyek garapan : Daging sapi dan ayam segar

    b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan : Pemecahan masalah terhadap keluhan konsumen yang diajukan ke Lembaga Konsumen tentang kualitas daging yang rendah mutunya. Skenarionya sebagai berikut: sejumlah konsumen datang ke lembaga konsumen di Makassar dan mengajukan klaim atas daging yang dibeli di salah satu pasar traditional di Makassar. Daging tersebut tidak seperti biasanya, ditandai dengan penampilan dan keempukannya yang sangat rendah (kualitas rendah). Pekerjaan yang harus dilakukan adalah melakukan pemecahan masalah terhadap kualitas daging tersebut diawali dengan studi kepustakaan tentang sifat-sifat daging; faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penampilan dan kualitas daging (atribut kualitas daging), peran struktur otot (jaringan penyusun otot) terhadap keempukan, teknik yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas daging. Pada akhirnya jelaskan bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kualitas daging segar melalui penanganan pascapanen yang tepat

    c. Metodologi / cara pengerjaan, acuan yang digunakan : Metode pembelajaran melalui kuliah dan problem base learning (PBL). Setiap individu dalam kelompok mencari bahan-bahan melalui perpustakaan (text book dan jurnal), internet, kerja laboratorium jika diperlukan, diskusi kelompok dan presentasi dipantau fasilitator (tutor), yang pada akhirnya menghasilkan suatu laporan dalam bentuk portofolio

    d. Kriteria luaran tugas yang dihasilkan/ dikerjakan : mampu menjelaskan dengan tepat melalui komunikasi, kerjasama team dalam kelompok dan kreativitas dalam membuat portofolio bekaitan dengan penyediaan daging yang berkualitas


 

  1. KRITERIA PENILAIAN :

    a. Kognitif: kemampuan ilmu pengetahuan melalui ujian

    b. Afektif: sikap setiap individu melalui kemampuan komunikasi, leadership, kreativitas, kedisiplinan dan kerjasama team

    c. Psikomotorik: kemampuan skill dalam kegiatan laboratorium dan perilaku


 

BAB III. PENUTUP

Karakteristik kualitas daging dijelaskan melalui persepsi manusia dalam menilai kualitas berdasarkan organ panca indera. Warna, keempukan, flavor, dan citarasa merupakan sifat kualitas daging yang mendapat pertimbangan oleh konsumen. Keempukan merupakan karakter kualitas yang paling utama bagi penilaian konsumen (64 %), bersama dengan kebasahan meningkat menjadi > 80 %. Warna merupakan persepsi awal dari konsumen pada saat pemilihan daging. Penilaian secara sensorik kemudian diimitasi dengan alat dengan alasan objektifitas, namun pendekatan statistik pada penilaian sensorik akan meningkatkan objektifitas dari penilaian sensorik. Sejumlah variasi diamati pada sifat-sifat kualitas daging yang pada dasarnya disebabkan oleh komponen penyusun otot baik sebelum maupun setelah pemotongan ternak. Penelitian-penelitian yang mengarah kepada komponen penyususn otot sangat terbuka untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada sifat-sifat kualitas daging.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
  4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
  5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey

Tidak ada komentar: