Minggu, 01 Maret 2009

Struktur Otot Dan Kualitas Daging

MODUL VI

JUDUL: HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR OTOT DENGAN KUALITAS DAGING

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Ketika berbicara tentang kualitas daging, maka pada umumnya di Negara maju kualitas tersebut diartikan sebagai keempukan daging. Potensi keempukan tersebut diakses melalui penilaian pada saat daging masih segar (tanpa masak). Kedua penyusun utama dari otot atau struktur otot akan sangat besar peranannya dalam penentuan potensi keempukan daging segar tersebut.

Modul ini memperlihatkan hubungan antara kedua penyusun otot tersebut dengan keempukan.

  1. Ruang Lingkup Isi

    Modul ini membahas tentang hubungan antara serat muskuler dengan keempukan daging dan hubungan antara sifat-sifat jaringan ikat dengan kealotan daging

  2. Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan keenam dari enam modul Ilmu Daging; diawali dengan pembahasan modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging. Modul kedua tentang Konversi Otot Menjadi Daging, dilanjutkan dengan modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul keempat tentang Struktur Otot, modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging dan diakhiri dengan modul keenam ini tentang Hubungan Antara Struktur Otot Dengan Kualitas Daging.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk menjelaskan hubungan antara struktur otot dengan kualitas daging.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Hubungan antara serat muskuler dengan keempukan daging

Pada saat ternak mati, terjadi ikatan kimia antara filamen tebal dengan filamen tipis yang akan merubah sifat-sifat kontraktil dari jaringan muskuler menjadi struktur tidak ekstensibel dan kompak, dikenal sebagai rigor mortis dan daging menjadi keras (Locker dan Hagyard, 1963). Marsh dan Leet (1966) menyatakan bahwa kekerasan maksimal otot dicapai pada saat tingkat kontraksi otot mencapai 40 % dari panjang semula. Kontraksi diatas 40 % sampai 60 %, kekerasan menurun (Gambar 1). Ini dikonfirmasikan oleh Marsh dan Carse (1974) yang memperlihatkan bahwa kekerasan maksimal pada daging dicapai pada saat otot memendek antara 35 - 40 % dari panjang semula (Gambar 2). Demikian pula Locker (1960) memperlihatkan hubungan langsung dan positif anatara panjang sarkomer dengan kekerasan daging. Variasi panjang sarkomer otot dapat terjadi akibat model penggantungan karkas selama fase rigor mortis dan model pendinginan yang diterapkan pada karkas (Locker dan Hagyard, 1963).

Kekerasan menurun selama penyimpanan daging sebagai konsekuensi fenomena maturasi melalui modifikasi struktur miofibriler; pelepasan filamen aktin dari strip z (Davey dan Dickson, 1970), kerusakan area yang berdekatan dengan strip Z (Penny, 1980) atau hilangnya strip Z (Young dkk, 1980-1981). Enzim proteolitik, enzim protease yang diaktifkan oleh ion Ca2+ dan enzim protease lisosomal berperan penting pada perubahan-perubahan ini (Ouali dan Valin, 1980-1981).


 

Tingkat Pengkerutan (%)


 


Suhu (°C)

Gambar 1. Hubungan antara suhu (°C) dengan tingkat pengkerutan otot


 

Daya Putus (daN)


 


Tingkat Pengkerutan (%)

Gambar 2. Hubungan antara tingkat pengkerutan (%) dengan daya putus daging (daN)


 

B. Hubungan antara sifat-sifat jaringan ikat dengan kekerasan daging

Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot (Boccard dkk., 1967).

Pengaruh kandungan kolagen

Suatu korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging (Nottingham, 1956). Boccard dkk. (1967) memperlihatkan koefisien korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan daging yang diukur menggunakan Warner Bratzler shear force.. Kopp dan Bonnet (1982) memperlihatkan koefisien korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada daging mentah yang telah mengalami maturasi sebesar + 0,87. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah (Reagan dkk., 1976 ; Jeremiah dan Martin, 1981). Sorensen (1981) mengemukakan bahwa kandungan dan solubilitas kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 % pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus dari ternak dengan genotipe dan umur yang sama. Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen, semakin rendah suhu awal kontraksi dan semakin penting tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging. Menurut Dransfield (1977) bahwa kadar kolagen nampaknya merupakan penduga yang baik bagi kekerasan daging mentah jika perbandingan dilakukan pada otot-otot yang berbeda dari umur yang sama. Sebaliknya pengukuran kadar kolagen nampaknya kurang sensitif jika perbandingan dilakukan pada otot yang sama yang berasal dari ternak yang berbeda. Kadar kolagen bukanlah faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi kekerasan jaringan ikat.

Pengaruh solubilisasi kolagen

Sifat-sifat kimiawi dan komposisi asam amino kolagen mempunyai peranan penting dalam penentuan kekerasan daging. Tingkat solubilitas (Kopp, 1971) dan proporsi dari berbagai tipe ikatan kimia retikulasi kolagen (croos-link) (Bailey, 1972 ; Shimokomaki dkk., 1972) berpengaruh terhadap keempukan daging. Semakin besar jumlah ikatan intra dan inter molekuler pada molekul kolagen, daging semakin keras. Dengan demikian daging anak sapi lebih empuk daripada daging sapi kastrasi umur tua, sekalipun kuantitas jaringan ikat pada anak sapi yang baru lahir lebih banyak daripada ternak yang lebih tua (Schmitt dan Dumont, 1972). Penelitian Abustam (1987) memperlihatkan bahwa solubilitas kolagen intramuskuler menurun dengan meningkatnya umur ternak dan tidak mempunyai hubungan, baik dengan resistensi mekanik daging mentah maupun dengan tegangan maksimal pada kontraksi serat kolagen selama pemanasan. Solubilisasi meningkat secara nyata dimulai pada suhu 70o C dan secara bersamaan terjadi peningkatan kehilangan berat selama pemasakan. Hanya pada suhu 95o C dengan lama pemasakan 60 menit menghasilkan tingkat solubilisasi kolagen yang cukup untuk menurunkan tegangan maksimal pada tingkat destruktif (deformasi) 80 %.

Hasil penelitian yang lain memperlihatkan bahwa dengan menggunakan Nuclear Magnetic Resonance dalam menilai solubilitas kolagen menunjukkan bahwa sesudah denaturasi termik jaringan ikat (70 o C selama 20 menit) terdapat korelasi yang tinggi (r = - 0,78) antara persentase populasi proton dengan waktu relaksasi transversal yang singkat(P2aD) dengan solubilitas jaringan ikat (Abustam, 1987).

Pengaruh morpho-anatomie jaringan ikat

Dumont dkk (1977) menyatakan bahwa variasi indeks rata-rata kekerasan otot dapat dijelaskan melalui karakter otot yang berhubungan dengan bentuk otot, karakter dimensional dan morphologie kelompok berkas serat utama dari perimisum, dan perbedaan-perbedaan karakter mikroskopik seperti repartisi dan penyebaran jaringan ikat serta jumlah saluran darah ke otot. Barbu (1977) menunjukkan bahwa indeks kekerasan otot berhubungan dengan karakteristik berkas jaringan ikat, densitas rata-rata miosken (kelompok berkas serat utama) yang dilakukan pada dua sumbu utama pada otot (lebar dan tebal), dan karakteristik perimisium. Densitas linier dari berkas perimisium berpengaruh secara langsung pada keempukan daging (Dumont, 1983 ; Abustam, 1984). Beberapa karakter morpho-anatomik dari berkas perimisium dapat dipertimbangkan seperti, jumlah berkas serat utama dengan ukuran kecil, homogenitas, dan kehalusan (tipis) dari berkas perimisium kedua, dalam menilai variasi kadar kolagen dan kekerasannya (Abustam, 1984). Densitas linier dari berkas perimisium dan jumlah berkas serat utama bervariasi tergantung pada jenis otot. Terjadi penurunan densitas linier dengan meningkatnya umur ternak yang dapat dijelaskan melalui peningkatan luas permukaan rata-rata dari berkas serat utama. Densitas linier berkas perimisium hanya dapat menjelaskan sebesar 29 % dari variasi resistensi mekanik daging mentah. Dengan menggabungkan antara densitas linier dan kadar kolagen, keduanya dapat menjelaskan 55 % variasi kekerasan daging (Abustam, 1987).

Kondisi pemasakan

Suhu dan lama pemasakan memegang peranan penting pada perubahan komponen jaringan ikat pada daging. Otot dengan potensi keempukan yang tinggi memerlukan suhu pemasakan dan waktu pemasakan yang cepat. Sebaliknya pada otot yang dalam keadaan mentah memperlihatkan kekerasan yang berarti memerlukn waktu pemasakan yang cukup lama. Berdasarkan atas sifat kolagen yang membutuhkan suhu untuk mengalami gelatinisasi pada suhu 80°C, perlu menjadi pertimbangan penerapannya, dengan waktu pemasakan yang cukup lama, minimal diatas satu jam. Pemasakan yang melampaui batas optimal pada daging empuk akan menyebabkan terjadinya pengerasan, pemasakan berlanjut setelah batas optimal tersebut akan mengakibatkan pengempukan yang diharapkan. Dengan demikian padanan antara suhu dan lama pemasakan yang digunakan harus disesuaikan dengan potensi keempukan dari otot tersebut. Berdasarkan metode pemasakan ini maka dikenal pemasakan lambat dan pemasakan cepat.

Pengaruh umur

Dapat disimpulkan secara umum, bahwa keempukan menurun dengan bertambahnya umur (Gambar 3). Namun demikian perbaikan pakan (pemberian pakan enersi tinggi) pada ternak sapi perah afkir sebelum penyembelihan untuk memperbaiki kondisinya berdampak terhadap perbaikan keempukan, lebih empuk dari sapi yang berumur muda dengan kondisi puberitas. Perbaikan kualitas kolagen melalui terbentuknya kolagen baru (neo kolagen) yang ditandai dengan sifat kolagen tersebut kembali seperti pada kolagen anak sapi (sapi muda) yakni ikatan silang yang labil terhadap panas, dapat menjelaskan fenomena tersebut.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3. Perubahan keempukan berdasarkan umur pada otot berbeda

  1. Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indikator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi, menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang hubungan antara struktur otot dan kualitas daging

PENUTUP

Variasi kualitas, khususnya keempukan pada otot pascamerta ternak sangat ditentukan oleh kedua komponen utama penyusun otot : konsistensi jaringan muskuler dan sifat-sifat fisik dan kimia jaringan ikat. Jika pada awalnya para peneliti dibidang ilmu pangan khususnya ilmu daging menduga variasi kekerasan daging ditentukan oleh sifat-sifat atau karakter jaringan muskuler seperti tingkat kontraksi dan relaksasi otot selama pasca merta ternak, maka dugaan ini menjadi berkurang setelah Lehman pada tahun 1907 memperlihatkan variasi kekerasan otot akibat kadar kolagen yang berbeda diantara otot. Namun perkembangan berikutnya terlihat bahwa kadar kolagen sendiri belum bisa menjelaskan 100 % variasi kekerasan daging. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti lainnya dan ditempat lainnya dan dengan menggunakan teknik pengukuran kekerasan daging baik yang sama maupun yang berbeda memperlihatkan masih selalu terjadi hasil yang berbeda dalam menjelaskan variasi kekerasan tersebut. Hal mana mengakibatkan penelitian tentang keempukan daging dengan segala faktor yang bisa mempengaruhinya menjadi objek tak ada hentinya. Penerapan teknik canggih untuk mengevaluasi kekerasan daging dari sisi jaringan ikat, yang mana komponen inilah yang dianggap paling berperan dalam kekerasan daging, seperti penggunaan Nucklear Magnetic Resonance, pendekatan analisis image untuk melihat repartisi dan penyebaran jaringan ikat pada potongan otot, teknik khromatografi dan spektoskopik untuk melihat ikatan silang kolagen, teknik osmolaritas pada otot, dan lain-lainya memperlihatkan betapa pentingnya daging yang empuk bagi para konsumen di negara-negara industri maju.

Dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kontraksi dan maturasi otot yang sama, kekerasan daging menjadi penting (meningkat) jika kadar kolagen tinggi, tingkat retikulasi (jenis dan jumlah ikatan silang kolagen) meningkat, dan pada otot dengan kadar kolagen yang sama, densitas linier dari berkas perimisium serta karakter morpho-anatominya merupakan kriteria-kriteria yang penting dalam penilaian kekerasan daging.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
  2. Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando
  3. Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
  4. Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford
  5. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  6. Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., New Jersey

1 komentar:

Andiwawan mengatakan...

Assalamu alaikum.
Saya A.wawang Prof. Saya adalah mahasiswa fak. peternakan UH angkatan 2002.
Secara tidak sengaja saya dapatkan blog-nya Prof dan saya rasa ini sangat bagus untuk media pembelajaran buat Mahasiswa. Kebetulan saya juga punya blog Prof. alamat urlnya: http://andiwawan-tonra.blogspot.com